Rabu, 15 September 2010

AGAMA vs SPIRITUALITAS


 
AGAMA vs SPIRITUALITAS

Bagi orang awam, bisa jadi antara pengertian agama dan spiritualitas terasa kabur. Para agamawan seringkali bicara soal spiritual, sementara kaum spiritualis juga seringkali berpijak dan mengacu pada ajaran agama tertentu. Fakta ini menambah kebingungan awam tentang, yang mana ajaran spiritual dan yang mana doktrin atau ajaran agama.
            Kendati dalam ajaran-ajaran agama terkandung ajaran spiritual, namun ternyata tidak semua ajaran-ajaran agama atau aktivitas keagamaan langsung dapat digolongkan ke dalam ajaran atau merupakan laku spiritual. Ajaran etika-moral, misalnya, diajarkan pada setiap agama besar di dunia, namun hingga batas-batas tertentu ia bukanlah ajaran spiritual.
         Dalam kehidupan sehari-hari, ajaran etika-moral dari suatu agama-lah yang lebih tampak di permukaan, lebih kasat indriya, oleh karena ia tercermin dalam tingkah-laku dari penganutnya. Ia secara langsung dapat dirasakan nilai manfaatnya, baik bagi pribadi yang bersangkutan maupun bagi lingkungan sosial dimana mereka berinteraksi. Di mata kebanyakan orang, bahkan ajaran etika-moral itulah yang dinobatkan sebagai keseluruhan dari ajaran agama itu sendiri.
Ungkapan seperti: "Prilakunya samasekali tidak mencerminkan prilaku umat beragama." dan semacamnya, mewakili pandangan kebanyakan orang terhadap apa ajaran agama itu di mata mereka.
         Di kalangan umat Hindu di Indonesia, ajaran etika-moral disebut Susila.
Ia merupakan salah-satu dari tiga kerangka landasan utama umat Hindu, dalam kehidupan religiusnya. Dua kerangka landasan utama lainnya masing-masing adalah: ritual atau Upacara dan ajaran kefilsafatannya sendiri atau Tattwa. Dalam prakteknya, justru Upacara-lah yang tampak menonjol, seperti juga Susila dalam pergaulan sosial. Ajaran kefilsafatannya, disamping memang bersifat pribadi dan tak tampak dipermukaan, rupanya juga kurang mendapat perhatian secara proporsional.
         Diantara ketiga kerangka landasan utama tadi, dimanakah terkandung ajaran teori maupun praktek spiritualitas Hindu? Mungkin timbul pertanyaan demikian di benak Anda. Dalam Hindu ia termaktub dalam ketiganya, dalam derajat penekanan yang berbeda-beda. Maksudnya, bila dalam Susila ia berupa larangan ataupun anjuran, pengekangan indriya, pengendalian- diri, pensucian-diri, silakrama, gurususrusha, tapa-brata serta peraturan tingkah-laku pendukung lainnya, yang dalam praktek spiritual, Yoga, disebut Yama-Niyama, maka dalam Upacara termaktub praktek persembahyangan, upasana, perafalan japa-mantra, pranayama, meditasi atau dhyana, perenungan-suci atau vichara dan lain sebagainya. Dalam Tattwa, jelas termaktub substansi landasan filosofis dari praktek spiritual itu sendiri, yang pasti juga melandasi ajaran etika-moral hingga praktek ritualnya.
         Dalam ceramah bulan Juni 2000-nya, Swami Krishnananda—Sekjen. The Divine Life Society— antara lain mengatakan: "Agama dan spiritualitas adalah dua faktor penentu didalam mencapai nilai kehidupan yang lebihtinggi." Beliau menyebutkan 'nilai kehidupan' disini, dan bukannya, secara terbatas, mencapai kesejahteraan hidup ataupun mencapai sorga ataupun menghindari neraka. 'Nilai kehidupan yang lebih tinggi', mempunyai arti yang jauh lebih luas, dibandingkan sekedar kesejahteraan hidup di dunia atau masuk sorga sekalipun.
            Pernyataannya itu dilengkapi lagi dengan penjelasan: "Kedua fungsi panggilan di dalam ini bagi manusia, berkaitan erat dengan kehidupan di dunia dan kehidupan dalam Tuhan. Hubungan antara dunia dan Tuhan juga adalah hubungan agama dengan spiritualitas. Disebutkan bahwasanya Tuhan memanifestasikan Diri-Nya sebagai dunia. Oleh karenanya, dengan cara yang sama, kita dapat mengatakan bahwa spiritualitas memanifestasikan diri sebagai agama."
            Dengan jelas disini dapat dipahami dua hal penting sehubungan dengan agama dan spiritualitas. Yang pertama adalah, bila agama berkaitan erat dengan kehidupan duniawi, maka spiritualitas justru lebih berkaitan dengan kehidupan ketuhanan dan realisasi Kesadaran Tuhan itu sendiri.
            Yang kedua adalah, spiritualitas mempunyai lingkup yang lebih luas, lebih tinggi, lebih halus dan transendental ketimbang agama, sejauh agama merupakan manifestasi dari spiritualitas.
Jadi, guna merefleksikan rasa spiritualitas kitalah kita menganut dan mematuhi ajaran-ajaran agama. Namun dalam kehidupan sehari-hari seringkali justru kita saksikan yang sebaliknya.
            Baik dalam Hindu maupun dalam Buddha, 'pengertian yang benar' terhadap ajaran menempati posisi yang sangat penting. Bukan saja dalam praktek religiusitas saja, dalam kehidupan sehari-haripun sesungguhnya juga demikian. Obat misalnya apalagi bila ia adalah obat-keras tidak akan sepenuhnya bermanfaat demi kesehatan bilamana kita tak mengetahui
bagaimana aturan-pakainya secara benar. Bila tidak, jangan-jangan kita malahan bisa over-dosis. Sebetulnya banyak contoh-contoh lain untuk dikemukakan disini, yang dapat kita saksikan kehidupan sehari-hari di lingkungan masing-masing, sehubungan dengan betapa pentingnya 'pengertian yang benar' dalam kehidupan kita sehari-hari.
           Dari tinjauan sekilas kita tentang agama dan spiritualitas ini, disamping terlihat keterkaitan- eratnya, juga tampak bahwasanya seorang spiritualis tidaklah secara otomatis dan harus sebagai anggota atau umat agama terorganisasi tertentu; namun sebaliknya, akan terrasa 'kurang' bila dalam praktek keagamaan umatnya —hingga batas-batas tertentu— tidak mempraktekkan laku spiritual (sadhana) atau menerapkan ajaran spiritualitas dalam kehidupan beragamanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar