Kamis, 16 September 2010

RASA BERSALAH DAN PENYESALAN DALAM MEKANISME PENYADARAN


Ketika kita dihadapkan pada suatu rasa bersalah --bukan karena dipersalahkan atau ditunjukkan kesalahan kita oleh orang lain-- kemanapun kita lari atau dimanapun kita bersembunyi ia akan selalu membuntuti. Sungguh tidak mengenakkan, ia menghukum, ia merenggut ketentraman, ia merampas kedamaian hati. Pernahkah Anda merasa demikian? Semoga saja tidak.

Rasa bersalah adalah awal kebajikan. Ia bentuk lain dari pengakuan kita tentang betapa indah dan membahagiakannya kebajikan dan kebenaran itu. Bersamaan dengan kemunculannya, muncul pula sebentuk 'keemohan' untuk melakukan apapun yang bisa menimbulkannya lagi di benak kita. Kita menginginkan yang berlawanan dengan rasa itu. Nah....disinilah akan muncul pertobatan. Sejak munculnya pertobatan, benih kebajikan benar-benar mulai tersemaikan kembali di hati kita.

Paradigma yang sama, belum tentu terjadi pada semua orang. Ia tidak muncul dengan sendirinya tanpa hadirnya kesadaran atau keinsyafan. Masalah bisa jadi lain bilamana ia dihadirkan dengan paksa oleh karena dipersalahkan atau ditunjukkan oleh pihak luar. Ia bisa jadi kurang efektif, karena ke-aku-an akan menolaknya. Kendati seseorang tampak sebagai 'pencinta' kebajikan, namun bilamana ke-aku-annya mulai tersentuh, apalagi sampai ditelanjangi kesalahan-esalahannya, maka ia akan berontak hebat. Pemberontakan ini tidak harus terekspresi ke luar secara frontal, bisa hanya sebagai sentakan yang menimbulkan gejolak hebat di dalam. Si aku akan mencari berbagai dalih atau alasan untuk membela-diri, atau mencari kambing-hitam agar kesalahan itu tidak sepenuhnya ditimpakan pada dirinya. Memang tampaknya tidak rasional; namun demikianlah yang tampak sering terjadi terkait dengan ke-aku-an (egoisme) ini. Ini seolah-olah di luar wilayah rasio, ia telah memasuki wilayah emosi.

Kebajikan maupun kejahatan acapkali dilakukan orang semata-mata oleh adanya dorongan emosi atau rasa sentimen yang kuat, dengan mana rasio atau akal-sehat terkesampingkan. Bilamana kita mencoba meneropongnya lewat akal-sehat saja, kita malah bisa merasa dibenturkan pada suatu dinding tebal. Kita mendapat kesulitan dalam menemukan alasan-alasan logis yang dapat merasionalisasikannya. Ia bak suatu misteri bagi akal sehat kita. Mungkin ini yang menyebabkan mengapa Mahatma Gandhi mengungkapkan 'kegundahan'-nya dengan mengatakan: "Selalu merupakan misteri bagiku, bagaimana manusia merasakan penghargaan atas dirinya dengan cara menghina sesamanya".

Rasa bersalah memang tidak bisa kita kaitkan langsung dan sederhana hanya dengan penalaran sebagai pembeda benar dan salah, baik dan buruk saja. Ia merupakan sisi unik manusia, yang muncul dari paduan kreatif antara emosi dan rasio; mungkin bisa dibilang demikian. Sekedar sebagai contoh; ketika seseorang
atau sekelompok orang menghina yang lainnya, terjadi sejenis ramuan kreatif antara rasio dan emosi atau sentimen dalam benak si penghina. Ia punya alasan-alasan logis untuk menghina, sebanyak agitasi-agitasi sentimental dan emosionalnya. Mungkin ramuan seperti inilah yang disebut rasa atau feeling dalam
bahasa Inggris. Ia lebih berpihak pada naluri-naluri rendah (rajas dan tamas) kita, ketimbang intuisi (citta) dan sifat-sifat luhur (sattvam) kita.

Dari perspektif ini, ketika seseorang melakukan tindak kejahatan kecil maupun besar, hatinya ada dalam keadaan yang sedemikian gelap dan tumpulnya --oleh dominasi rajas dan tamas-- sehingga tak dapat merasakan rasa ini. Yang jelas, rasa kasih dan empati tidak hadir disitu. Ia sedang dikuasai oleh kebencian (dvesa) dan kemarahan (krodha)-nya. Dalam dominasi bentuk-bentuk emosi ini, akal-sehat (buddhi) praktis tersingkirkan. Ia tak punya landasan pijakannya di sini.

Disini kita lebih menyoroti sisi positif dan konstruktif dari rasa bersalah ini, karena memang demikian tujuan kita --menjadi lebih positif dan lebih konstruktif dari waktu ke waktu. Dimaklumi juga bahwa rasa bersalah yang berlarut-larut, sungguh mengganggu. Ia menghadirkan depresi yang berkepanjangan. Dan bilamana ini terjadi, keseluruhan hidup Anda bisa hanya terisi oleh penyesalan saja.

Untuk menanggulangi dampak buruk dari rasa bersalah serupa ini, ada yang menganjurkan pemaafan-diri dan melepaskan atau melupakannya saja. Toh Anda telah bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Ini mungkin bisa banyak membantu
orang untuk tidak mengalami depresi yang berkepanjangan akibat penyesalannya itu. Namun ada satu hal yang patut diwaspadai juga disini. Ada orang yang cenderung selalu memaafkan-dirinya sendiri dan selalu minta dimaafkan, sementara ia terus-menerus melakukan kesalahan demi kesalahan tanpa pernah mau mengoreksi dirinya sendiri. Yang ini agak khusus; sehingga anjuran pemaafan-diri kurang tepat, bahkan malah berakibat lebih parah lagi bagi mereka. Sikap seperti ini lahir dari --apa yang disebut dengan-- rasa iba-diri. Yang satu ini bersifat kontraproduktif terhadap kemunculan rasa bersalah ini. Namun, pada dasarnya itu
hanya disebabkan oleh masih absensinya keinsyafan-diri. [baca juga: DOSA, PERTOBATAN dan KESADARAN]

Lagi lagi harus diakui betapa pentingnya kesadaran-diri disini. Hanya manakala kita benar-benar insyaf-lah akal-sehat bisa berfungsi betapa mestinya. Dalam kesadaran, kita akan melakukan introspeksi atau mawas-diri. Dalam kesadaran hadir kewaspadaan dan perhatian yang proporsional terhadap segala gejolak internal --yang muncul sebagai reaksi terhadap agresi atau agitasi luar. Akal-sehatpun otomatis akan berfungsi dengan baik, yang memungkinkan untuk memunculkan rasa bersalah, pengakuan dan pertobatan. Keinsyafan atau kesadaran-lah landasan dari kehadiran semua itu. Inilah yang menyelamatkan kita dari rasa bersalah, bahkan dari melakukan kesalahan itu sendiri. Ia meniadakan akar-penyebab dari rasa bersalah dan penyesalan itu.
Denpasar, 6 Januari 2002.

Dikutip dari : http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/2889.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar