Rabu, 15 September 2010

skripsi titiang


 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1      Latar Belakang

Siswa sebagai individu yang mempunyai perasaan, fikiran,dan potensi dasar lainnnya. Sudah sewajarnya siswa SMK dapat menilai diri, memahami serta mengarahkan diri. Jika siswa sudah bisa mengambil sikap demikian maka, hal ini akan memudahkan dirinya untuk bertindak dan berprilaku serta menilai orang lain. Tetapi tidak demikian halnya bagi siswa yangkurang paham terhadap bagaimana cara atau jalan agar dapat menilai serta memahami dirinya maupun orang lain. Bukan tidak mungkin hal ini menyebabkan tumbuhnya pribadi-pribadi yang kurang sehat, dan ini merupakan salah satu pangkal timbulnya masalah bagi siswa.
Siswa yang kurang percaya diri serta kurang menghargai dirinya sendiri cenderung akan menimbulkan masalah bagi dirinya.Dimana siswa tersebut cenderung untuk bergantung pada oranglain dalam melaksanakan tugas-tugas terutama yang berkaitan dengan tugas –tugas yang di dapatkan di sekolah. Konsep diri sebagai pusat perilaku pada individu tentunya akan menentukan bagaimana pola perilaku individu di dalam menghadapi lingkungan di sekitar serta bagaimana cara berinteraksi dengan oranglain, sehingga siswa yang mempunyai konsep diri yang kurang positif cenderung mempunyai perilaku yang kurang sehat dalam menghadapi diri sendiri maupun dalam menghadapi orang lain. Keadaan ini mungkin dapat dilihat secara nyata bahwa siswa yang mempunyai konsep diri yang kurang positif sering menunjukkan gejala kurang percaya diri,dan juga kurang menghargai diri sendiri.
Mengingat pentingnya konsep diri bagi siswa maka dalam  perkembanganya perlu mendapat pembinaan yang tepat dan tearah. Dalam hal ini siswa dapat dibina melalui pendidikan, baik dalam lingkungan keluarga,sekolah maupun masyarakat. Melalui ketiga hal tersebut maka diharapkan konsep diri siswa dapat di arahkan kearah yang lebih positif. Namun kenyataan yang sering diamati di lapangan bahwa ketiga lembaga pendidikan ini kurang memperhatikan pembinaan konsep diri siswa. Di lingkungan keluarga dapat diamati bahwa orang tua lebih mementingkan usahanya di dalam memenuhi ekonomi keluarga dibandingkan usahanya dalam membina perkembangan anak atau dengan kata lain karena orang tua sibuk dengan pekerjaannya tanpa memantau atau membina perkembangan pendidikan anaknya sendiri. Kalau kita lihat dari lingkungan sekolah dapat dilihat dari guru yang terdapat di sekolah tersebut, dimana guru lebih mementingkan pencapaian target materi pelajaran yang di bebankan pada guru tersebut, atau dengan kata lain dalam hal ini guru mengejar terget materi biar materi yang diajarkan selesai tepat pada waktunya tanpa mempertimbangkan apakah siswanya memang sudah benar – benar mengerti dengan materi yang didapatkan atau apakah siswa tersebut sudah menguasai materi yang disampaikan, hal inilah yang terkadang diabaikan oleh guru mata pelajaran atau guru bidang studi. Demikian pula dari lingkungan masyarakat , dalam hal ini bisa diamati bahwa lingkungan masyarakat yang cendrung individualistis di saat ini yang kurang mendukung perkembangan  konsep diri siswa dimana masyarakat kurang peduli dengan siswa yang terdapat di wilayah tersebut mereka hanya mementingkan kebutuhan mereka masing-masing dimana mereka kurang memperhatikan siswa atau kurang memberikan sarana yang dapat mendukung keberhasilan mereka nantinya agar  bisa meraih keberhasilan dalam menempuh pendidikan.
Suasana hubungan yang harmonis dalam keluarga cenderung memberikan rasa aman pada anak sehingga akan tumbuh rasa percaya diri pada anak. Terjadinya keributan, pertengkaran antara orang tua dengan anak atau antara kedua orangtua tersebut maka hal ini akan membuat anak merasa terganggu dan bingung serta dapat tumbuh rasa kurang percayanya si anak terhadap orang tua atau terhadap dirinya sendiri. Jadi dalam hal ini dalam keluarga perlu di tumbuhkan suasana yang hangat, penuh kedamaian di dalam keluarga maka hal ini akan membuat sianak membentuk konsep diri yang baik dan positif karena dia sudah merasa nyaman dalam keluarga. Sikap mencemoh, mengejek, memaki-maki, menekan anak, maka apabila hal tersebut terjadi akan berdampak terhadap si anak maka dia akan berfikir  yang negatif terhadap dirinya dia akan merasa dirinya tidak mampu untuk bertahan atau merasa dirinya tidak berguna dan apabila hal ini terjadi cenderung sianak menyalahkan dirinya sendiri yang mengakibatkan terganggunya proses pendidikan yang sedang ditempuhnya.
Setiap orang juga ingin agar dirinya diterima sebagai anggota keluarga yang baik, sebagai teman yang baik, sebagai anggota masyarakat yang baik dan sebagainya. Oleh karena itu, orang kemudian berusaha mempelajari nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok sosial itu dan berusaha untuk berperilaku sesuai dengan tuntutan nilai dan norma yang berlaku. Dengan belajar beperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku ia akan diterima sebagai anggota kelompok sosial (Gunarsa dan Gunarsa, 2004:236).
Suatu masyrakat pun mempunyai kepentingan unuk meneruskan nilai, norma dan semua warisan kebudayaan kepada generasi berikutnya sebagai upaya melestarikan masyarakat tersebut. Oleh karena itu setiap masyarakat akan berusaha untuk mengajarkan nilai, norma dan semua warisan kebudayaannya itu kepada setiap anggota masyarakatnya, (Maftuh dan Ruyadi, 1994:69-70).
Berdasarkan penjelasan diatas, kemampuan bersosialisasi baik dikeluarga, sekolah dan masyarakat harus didasari dengan adanya percaya diri yang tumbuh dari dalam diri dan konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk. Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya.
Konsep diri ini mempunyai sifat yang dinamis, artinya tidak luput dari perubahan. Ada aspek-aspek yang bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu, namun ada pula yang mudah sekali berubah sesuai dengan situasi sesaat. Misalnya, seorang merasa dirinya pandai dan selalu berhasil mendapatkan nilai baik, namun suatu ketika dia mendapat angka merah. Bisa saja saat itu ia jadi merasa “bodoh”, namun karena dasar keyakinannya yang positif, ia berusaha memperbaiki nilai, dan dalam hal bergaul atau bersosialisasi jika dirinya selalu diejek dan diolok-olok teman-temannya karena dianggap bloon atau karena kurang bergaul atau bersosialisasi, maka anak akan merasa tidak berarti apa-apa dan merasa tidak disukai teman-temannya, (Surya, 2007:11-122).
Pembentukan konsep diri berjalan secara berkesinambungan dalam lingkungan yang berbeda dengan pola pendekatan yang tidak sama. Sekolah sebagai subsistem dari keseluruhan sistem kehidupan sosial budaya dan juga sebagai lingkungan pendidikan, dalam hal ini bukan mengambil peranan dan fungsi orang tua dalam mendidik anak di dalam lingkungan keluarga tetapi sekolah bersama-sama  dengan orang tua membantu dan mendidik anak agar anak merasa nyaman dan bisa berhasil di dalam menempuh pendidikan. Suasana hubungan guru dan murid, sikap guru pada siswa, akan berpengaruh pada pembentukan konsep diri siswa. Guru yang sering marah, bersikap kejam, cenderung tidak disenangi oleh siswa dan sikap yag demikian kurang membantu isiwa di dalam mengembangkan konsep diri. Sikap objektif yang memandang siswa sebagai individu perlu mendapat suatu pengarahan dan bimbingan akan mendapatkan perlakuan yang tepat dalam artian kita harus bisa memberikan penghargaan,pujian  ataupun hukuman dalam kondisi yang tepat sehingga tidak membuat siswa tersinggung. Dalam pihak lain guru sebagai pengajar tidak hanya sekedar mentransper  ilmu pengetahuan saja kepada siswa tetapi juga menanamkan nilai-nilai , dan sikap baik pada siswa. Sikap dan prilaku siswa yang baik merupakan cerminan bahwa konsep dirinya baik sebab konsep diri adalah merupakan pusat dari perilaku yang di tampakkan oleh seseorang termasuk siswa tersebut.




1.2      Rumusan Masalah
Pada saat sekarang ini belum banyak terungkap mengenai hal yang menentukan pembentukan konsep diri di tinjau dari faktor keluarga dan faktor sekolah. Atas dasar ini dipandang perlu unuk melakukan penelitian mengeni permasalahan yang diungkapkan diatas. Adapun pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.          Seberapa besar kontribusi faktor keluarga terhadap konsep diri siswa pada para siswa kelas X  tahun ajaran 2009 – 2010 dilingkungan sekolah SMK N 3 Singaraja 
2.           Seberapa besar kontribusi faktor Sekolah terhadap konsep diri siswa pada para siswa kelas X  tahun ajaran 2009 – 2010 dilingkungan sekolah SMK N 3 Singaraja 
3.          Secara bersama-sama, apakah ada pengaruh antara faktor keluarga dan faktor sekolah terhadap konsep diri siswa pada para siswa kelas X  tahun ajaran 2009 – 2010 dilingkungan sekolah SMK N 3 Singaraja 

1.3      TUJUAN PENELITIAN
Peneliti yang ingin melakukan penelitian sudah tentu mempunyai tujuan yang ingin dicapai dan dengan merumuskan tujuan terlebih dahulu maka peneliti akan dapat bekerja secara teratur dan sistematis,sehigga akan di peroleh hasil yang sesuai dengan tujuan yang sudah di tetapkan.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1.      Besarnya kontribusi faktor keluarga terhadap  konsep diri siswa pada para siswa kelas X  tahun ajaran 2009 – 2010 dilingkungan sekolah SMK N 3 Singaraja 
2.      Besarnya kontribusi faktor sekolah terhadap konsep diri siswa pada para siswa kelas X  tahun ajaran 2009 – 2010 dilingkungan sekolah SMK N 3 Singaraja 
3.      Besarnya kontribusi faktor keluarga dan faktor sekolah sekolah terhadap konsep diri siswa pada para siswa kelas X  tahun ajaran 2009 – 2010 dilingkungan sekolah SMK N 3 Singaraja 


1.4      SIGNIFIKANSI PENELITIAN ATAU MANFAAT PENELITIAN
Signifikansi penelitian adalah manfaat atau pentingnya suatu penelitian yang dilakukan. Adapun signifikansi dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi dua hal yakni : 1) signifikansi teoritis dan 2) signifikansi praktis

1. Signifikansi teoretis
     1.1 Informasi yang terungkap melalui penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh pihak yang berkompeten di bidang pendidikan dan bimbingan konseling guna mengembangkan konsep-konsep yang berkaitan dengan prilaku siswa.
1.2 Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi rangsangan bagi peneliti lain untuk meneliti lebih jauh dan mendalam terutama mengenai masalah-masalah yang belum terjangkau dalam penelitian ini.

2. Signifikansi Praktis
2.1. Informasi yang dapat diungkap dari peneliti ini diharapkan dapat digunakan oleh para pembimbing dan guru untuk menghadapi para siswa, terutama dalam menghadapi dan menangani masalah-masalahnya
2.2 Informasi yang dapat diungkapkan melalui penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh para orang tua yang kurang memehami tentang fungsi dan peranannya sebagai pendidik pertama dan utama di dalam memberikan perlakuan kepada anak dalam kaitannya dengan pengembangan konsep diri.
1.5      PEMBATASAN LINGKUP PENELITIAN
Untuk menghindari terjadinya kesimpangsiuran dalam menafsirkan pokok bahasan dari penelitian ini, maka perlu diberikan pembatasan penelitian terutama yang berkaitan dengan lingkup penelitian ini, dan juga mengingat keterbatasan baik yang menyangkut kemampuan berfikir, materi dan juga terbatasnya waktu maka peneliti hanya menjangkau :
1. faktor keluarga yang di teliti terbatas pada suasana psikologis dalam kelurga, dengan indikator : hubungan anak dengan orang tua, sikap orang tua terhadap anak,cara orang tua mendidik anak dan hubungan antara kedua dengan orangtua.
2. faktor sekolah yang diteliti terbatas pada suasana sosial psikologis dalam lingkungan sekolah dengan indikator : hubungan guru dengan siswa,dan sikap guru terhadap siswa.
3. Konsep diri yang diteliti terbatas pada kepercayaan diri
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Faktor Keluarga
2.1.1 Pengertian keluarga
Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta: kula dan warga "kulawarga" yang berarti "anggota" "kelompok kerabat". Keluarga adalah lingkungan di mana beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah, bersatu. Keluarga inti ("nuclear family") terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak mereka.
Definisi keluarga menurut Burgess dkk dalam Friedman (1998), yang berorientasi pada tradisi dan digunakan sebagai referensi secara luas :
1). Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan dengan ikatan perkawinan, darah dan ikatan adopsi.
2). Para anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama -sama dalam satu rumah tangga, atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka.
3). Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu s ama lain dalam peran-peran sosial keluarga seperti suami -istri, ayah dan ibu, anak laki - laki dan anak perempuan, saudara dan saudari.
4) Keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang diambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri
9
 
Menurut Whall dalam Friedman (1998), mendefinisikan keluarga sebagai kelompok yang mengidentifikasi diri dengan anggotanya terdiri dari dua individu atau lebih, asosiasinya di cirikan oleh istilah-istilah khusus, yang boleh jadi tidak diikat oleh hu bungan darah atau hukum, tapi berfungsi sedemikian rupa sehingga mereka menganggap diri mereka sebagai sebuah keluarga.
Menurut Departemen Kesehatan dalam Effendy (1998), mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat , terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan .
Menurut Friedman dalam Suprajitno (2004), mendefinisikan bahwa keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama denganketerikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga.
Keluarga merupakan lingkungan yang pertama bagi seseorang dalam mengalami proses sosialisasi. Dalam keluarga, sejak kecil seseorang diajarkan dasr-dasar pola pergaulan yang baik. Dengan begitu, anak pun menjadi tahu dan memahami bagaimana ia harus berperilaku di tengah-tengah masyarakatnya. Peran sosialisasi dalam keluarga mempunyai fungsi dominan dalam membentuk kepribadian anak. Dalam sosialisasi di keluarga, orang tua, kakak, dan anggota keluarga lainnya berperan dalam mengkomunikasikan segala aspek kebudayaan dan kehidupan kepada  kebudayaan dan kehidupan kepada seorang anak. Ia pun belajar memahami aturan-aturan dan berperilaku sesuai dengan apa yang sudah diajarkan kepadanya.
Orang tua mengawasi anak-anaknya, mengajarkan supaya anak-anaknya dapat membedakan antara yang benar dan salah. Mereka juga akan menasehati anak-anaknya jika melakukan kesalahan dan menunjukkan jalan yang benar. Dalam proses sosialisasi keluarga, anak diajarkan kemampuan berkomunikasi, dan bahasa sehingga ia dapat berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya.
Pengaruh Keluarga terhadap pembentukan perilaku anak tidak dapat disangsikan lagi, Meskipun dalam ukuran yang relative, ini dapat dimengerti karena keluarga adalah pendidik yang pertama dan utama. Corak dan warna interaksi dalam keluarga akan mempengaruhi sikap, perilaku dan peribadi anak. Sally S Adiwardana mengemukakan :
Faktor lingkungan besar sekali pengaruhnya terhadap perkembangan moral anak, namun karena lingkungan pertama yang dikenal anak dalam kehidupannya adalah orang tua, maka peranan orangtualah yang dirasa paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan moral anak disamping pengaruh lingkungan lainnya seperti sekolah dan masyarakat. ( Singgih D Gunarsa, Ny.Y. Singgih D Gunarsa,th 1983, hal 60 ).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa masing-masing lingkungan akan memberikan pengaruh terhadap sikap,nilai, perilaku dan moral anak. Tapi seperti yang kita ketahui karena sebagian besar waktu banyak dihabiskan pada keluarga (rumah) maka lingkungan keluarga ini lebih banyak memeberikan porsi pendidikan pada anak. Hasil studi yang dilakukan oleh Asiz – Qussy menyatakan bahwa 75% dari kasus-kasus ini disebabkan oleh kehancuran suasana keluarga. Yang mungkin dalam hal ini menunjukkan bahwa hubungan keluarga mempunyai pengaruh yang kuat dan langsung terhadap kelakuan anak -anak itu. (Skiah Daradjat,th.1974,hal 237).


Selanjutnya Emil H. Tambunan mengemukakan
Kebanyakan anak remaja yang nekat melakukan tindakan kenakalan adalah yang frustasi dari rumah,barangkali rasa tidak aman karena berbagai persoalan dan masalah lainnya memebuat anak merasa kurang mendapat perhatian, kurang mendapat penghargaan an ahirnya iapun kurang dihargai. ( Email H. Tambunnan, th. 1982,hal.67 ).

Dari kedua pendapat diatas dapat disimpilkan bahwa suasana keluarga, sikap orang tua dan perlakuan orang tua terhadap anak mempunyai pengaruh yang sangat berarti bagi pembentukan perilaku anak. Jadi yang harus diperhatikan disini adalah sikap apa dan bagaimana yang perlu diambil oleh orang tua dalam menghadapi serta mengarahkan anaknya.
Pendidikan yang berlangsung di keluarga tidak terlepas dari bagaimana cara orang tua menanamkan nilai-nilai, memeberikan didikan serta membina perkembangan anak, pola pendekatan mana yang diambil orang tua akan mempunyai dampak tertentu pada perilaku anak. Penelitian yang dilakukan oleh  I Wayan  Dharmayana menunjukkan “ terdapat korelasi yang positif antara pola asuhan keluarga dengan ketidak setabilan emosi.” ( I Wayan Dharmayana, th 1983,hal. 128) . pendapat yang dikemukakan Singgih D Gunarsa juga menunjukkan bahwa “ Kemampuan pengendalian tingkah laku diri sendiri akan terbentuk melalui pendidikan yang dimulai dalam keluarga.” ( Singgih D Gunarsa, th.1979, hal. 165 ).
Dari berbagai hasil penelitian, pendapat dan kajian para ahli maka dapat disimpulkan bahwa factor keluarga memberikan kontribusi dalam pembentukan perilaku, sikap dan nilai-nilai pada anak.


Zakiah Daradjat menyatakan bahwa :
Yang dimaksud pendidikan dalam hubungannya dengan kesehatan mental, bukanlah pendidikan yang disengaja, yang ditunjukkan kepada objek yang di didik, yaitu anak akan  tetap yang lebih daripada itu adalah keadaan dan suasana rumah tangga,keadaan jiwa ibu bapak, hubungan antara satu dengan lainnya, dan sikap jiwa mereka terhadap rumah tangga dan anak-anak. Segala perssoalan orang tua itu akan memepengaruhi si anak, karena apa yang mereka rasakan akan tercermin dalam tindakan-tindakan mereka. (Zakiah Daradjat,th.1980,hal.65).

Dengan mengacu pendapat nZakiah Daradjat ini, factor keluarga yang dimaksud dalam penelitian ini berkaitan dengan suasana psikologis (kejiwaan) yang terdapat dalam keluarga yang meliputi sikap orang tua terhadap anak, cara orang tua mendidik anak dan hubungan antara orang tua. Selanjutnya akan diuraikan secara berturut-turut mengenai indikator dari factor keluarga tersebut :

2.1.2. Hubungan Anak Dengan Keluarga
Baik disadari atau tidak suasana hubungan anak dengan orang tua akan mempengaruhi pada perkembangan anak.  Hal ini dapat dimengerti karena keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal anak dalam hubungannya dengan orang lain terutama orangtuanya.
Dikemukakan oleh Martin and Stendler, perilaku orang tua dalam hubungannya dengan suasana keluarga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan anak dan juga dalam hubungannya dengan pembentukan konsep diri anak. Sehingga orang tua perlu menampilkan perilaku yang sehat dan positif guna mengembangkan peribadi anak yang positif dan sehat pula. ( William E Martin., Calia B Stendler,th.1959.hal 312)

Charlene T Meyer ,emgemukakan :
Kalau para orang tua berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengerti tingkah laku dari anak-anaknya dan untuk memberikan hubungan yang baik dengan mereka, anak akan bertindak disiplin atau anak tidak akan mendapat kesukaran – kesukaran persoalan yang berkaitan dengan tingkah laku yang memerlukan disiplin. (Koestoer P, th.1983.hal 86 )

            Pernyataan ini menunjukkan bahwa kalau orang tua kurang serius dalam mengadakan hubungan dengan anak bukannya memebantu perkembangan pembentukan perilaku yang positif tapi malahan dapat menimbulkan masalah dan persoalan pada anak.
            Orang tua seharusnya menyadari dan mengrti bahwa dirinya dijadikan contoh dan model bagi anak untuk ber perilaku. Kenyataan ini relevan dengan apa yang dikemukakan oleh Ny. Siti Partini Suardiman S.U. Yaitu :
Apa yang diajarkan oleh orang tuanya akan tercermin dalam tigkah laku anak sehari-hari : misalnya bagaimana tata cara makan,, menerima tamu, menegur tetangga yang lebih tua, tata cara meminjam yang dilakukan anak akan mencrminkan bagaimana nilai – nilai tersebut diajarkan di rumah. ( Ny. Siti Partini Suardiman S.U., th.1986,hal.105 )

Hal yang senada diungkapkan oleh Singgih D Gunarsa bahwa “ seorang anak bertingkahlaku dalam suatu situasi sesuai dengan cara – cara yang telah diajarkan padanya.” ( Singgih D Gunarsa., Ny.Y. Singgih D Gunarsa, th. 1979,hal. 165 )
Dari kedua pendapat diatas memberikan teladan bahwa jika orang tua menghendaki anaknya dapat berkembang dengan baik, berguna bagi masyarakat, sopan maka orang tua harus memberikan contoh dan model yang baik. Dari orang tua dan keluarga, anak-anak mulai berkenalan dengan orang lain serta dengan lingkungan sekitar , di sini anak muali belajar tentang cara-cara, aturan-aturan, nilai-nilai yang ada dalam lingkungannya dan masyarakat sekitar. Dimana kesemuanya ini berguna bagi kehidupan sekanjutnya juga dalam pembentukan konsep diri.

Kasih sayang ( affection ) perlu dijadikan dasar dalam hubungan antara anak dan orang tua sebab hubungan ini akan terasa kering dan kurang bermakna jika tanpa disertai kasih saying. Kecemasan, kekuatiran dan gangguan jiwa lainnya dapat bersumber dari keringnya kasih sayang dari orang tua. Anak akan merasa tenang, damai bila orang tua dapat memberikan kasih sayang secara cukup.  Berkaitan dengan masalah kasih sayang ini, Alex Sobur mengemukakan “ Bila seorang anak tumbuh dalam lingkungan yang dingin , tanpa kasih sayang, dengan sendirinya anak itu akan menemui banyak kesulitan dalam memberi dan menyatakan cinta mereka  ( Alex Sobur,th.1983,hal.57 ). Diungkapkan oleh Singgih D. Gunarsa bahwa “ Dengan kasih sayang yang di berikan maka akan mengajar anak untuk memberikan kasih sayang pada orang lain.” ( Singgih D. gunarsa., Ny. Y. Singgih D. Gunarsa, th. 1983,hal.57). seorang anak cenderung akan kurang mengerti bagaimanan ia akan menyatakan kasih sayang pada orang lain jika ia sendiri tidak pernah menerima curahan kasih sayang dari orang tuanya. Cinta dan kasih sayang memegang peranan penting dalam perkembangan anak terutama bila kasih sayang  yang diberikan dapat memberikan kepuasan dan pemenuhan kebutuhan naluri anak. Untuk itu cinta kasih sayang perlu diucapkan dan dinyatakan dalam perbuatan.
Meskipun anak yang dilahirka, tidak diharapkan tapi orang tua harus manyadari bahwa anak yang telah dilahirkan merupakan tanggung jawabnya untuk membimbing dan memeberikan kasih sayang secara tulus. Sikap sebagai seorang sahabat dari orang tua terhadap anak untuk mengungkapkan persoalan yang ada pada dirinya kepada orang tuanya secara jujur dan terbuka. Dengan sikap bersahabat dari orang tuanya ini, anak diharapkan tidak canggung dalam berhubungan dan berkomunikasi dengan orang tuanya. Dan orang tuanya sendiri akan dengan mudah menanamkan sikap-sikap dan nilai-nilai yang baik pada anak.

2.1.3 Sikap Orang Tua Terhadap Anak
Sepanjang pengetahuan kita, tidak ada orang tua yang tidak menginginkan anaknya bahagia dan sukses, tapi kenyataan nya sering kita jumpai banyak orang tua gagal dalam mendidik anaknya, hal ini mungkin disebabkan oleh sikap orang tua dalam mendidik anak yang tidak tepat. Maka dari hal tersebut sikap yang tidak tepat justru dapat menghambat potensi anak untuk mencapai kedewasaan. Keadaan ini merupakan indikasi bahwa orang tua kurang tanggap terhadap keadaan anak yang sebenarnya. Ketidak tepatan orang tua mengambil sikap disebabkan karena orang tua salah mempersepsikan perilaku yang ditampilkan anaknya. Menurut Singgih D Gunarsa  Orang tua biasanya juga mengambil sikap tertentu terhadap anaknya berdasarkan latar belakangnya sendiri dan penampilan anak itu sendiri. (Singgih D Gunarsa., Ny. Y. Singgih D Gunarsa, th.1985,hal.103).  Jadi latar belakang orang tua, bagaimana orang tua terdahulu dibesarkan akan memebentuk dan menentukan sikapnya terhadap anak. Sikap yang terlalu mendominasi misalnya, akan menyebabkan pola keperibadian anak yang pemalu,penurut dan agak sensitif. Sikap memanjakan yang berlebihan juga akan menyebabkan pribadi anak yang cengeng, emosi yang tinggi, mengisolasi diri, da sebagainya. Ini berarti setiap sikap yang diambil orang tua akan menimbulkan pola keperibadian yang berlainan pula.
Sikap orang tua memainkan peranan penting dalam pembentukan konsep diri anak, terutama sikap yang positif akan dapat lebih membantu perkembangan konsep diri anak kearah yang lebih positif dan realistis. Celaan, perlakuan kasar dari orang tua hanya akan membuat anak cenderung menyalahkan diri dan membenci dirisendiri. Keadaan yang demikian ini kurang memungkinkan anak untuk mengembangkan konsep diri dan membenci diri sendiri. Keadaan yang demikian ini kurang memungkinkan anak untuk mengembangkan konsep diri yang realistis, konsep diri yang terbentuk misalnya, “Saya ini orang bodoh dan pantas disalahkan” konsep diri yang demikian tentu tidak diinginkan oleh anak maupun oleh orang tuanya.
Beberapa ahli mengemukakakn tipe – tipe atau bentuk sikap orang tua terhadap anak  diantaranya adalah :
a. Sikap Terlalu melindungi anak
Dikemukakan oleh Singgih D Gunarsa bahwa dalam sikap – sikap ini “ Seluruh perhatian dicurahkan terhadap anak. Anak terlalu disayang, dilindungi, dikuasai, dan dimanja oleh ibunya ataupun siapa saja yang sering berhubungan dengan anak tersebut. (Singgih D Gunarsa, th.1985,hal.103).
Dapat disimpulkan bahwa sikap terlalu melindungi anak merupakan sikap yang selalu memberikan perhatian, perlindungan dan sifat manja yang berlebihan pada anak. Anak tidak diberi kesempatan untuk mandiri, sebab anak masih dianggap sebagai bayi yang perlu dilayani. Perlindungan dan pengawasaan yang berlebihan ini tidan menjadikan anak tergantung pada orang tua. Anak cenderung tidak dapat mengembangkan keberanian serta ide-idenya, sebeb segala sesuatunya masih tergantung pada orang tua. Memeng ketergantungan tidak bias lepas begitu saja dalam interaksi anak dengan orang tua, seperti pemenuhan makanan, pakaian dan rumah anak masih menggantungkan ini semua pada pada orang tua. Tapi kalau sifat tergantung ini berkaitan dengan pengembangan ide atau potensinya, hal ini tidak dapat kita terima, karena akan menghambat anak dalam mengembangkan potensinya. Sikap overprotective juga dapat mempengaruhi perkembangan anak hususnya hubungan dengan orang tua, overprotective ini dilatarbelakangi oleh  keadaan orang tua pada masa lalu dan juga adanya hubungan yang kurang harmonis antara suami dan istri. Keadaan ini mendorong orang tua untuk mengkompensasi pada diri anak yaitu dengan memeberikan perlindungan yang berlebihan dan mereka sangat senang apabila anaknya tetap bergantung padanya.
Sikap perlindungan yang berlebihan ini tentu mempunyai akibat tertentu pada diri anak, karena terlalu dilindungi maka anak kurang berani bergaul, selalu menuntut perhatian dan selalu ingin dilayani, cepat putus asa, kurang berani mencoba ide -  ide yang baru, demikian juga dengan keadaan nya disekolah.
b. sikap Menerima Anak
Sikap menerima ditandai dengan adanya perhatian dan penerimaan yang cukup dari  orang tua, juga adanya kasih sayang yang tidak berlebihan untuk anank. Sikap menerima ini dimaksudkan untuk mengatasi sifat anak yang kurang berkenan dihati orang tuanya. Orang tua kadang kurang menyadari pengaruh positif bagi anak. Kebanyakan orang tua hanya memberikan keritik, nasihat, peringatan, anjuran, perintah dan sebagainya, kesemuanya ini kurang mencerminkan bahwa anak diterima dengan sungguh- sungguh dan seperti apa adanya.
Thomas Gordon berpendapat bahwa :
Jika seseorang dapat merasa dan dapat mengungkapkan bahwa ia memahami serta menerima orang lain sebagaimana adanya adalah faktor penting guna menjalin suatu hubungan dimana orang lain dapat tumbuh berkembang, membuat perubahan – perubahan yang membangun, belajar memecahkan masalah – masalah , secara psikologis , semakin sehat, semakin kreatif dan produktif dan mampu mengaktualisasikan potensi sepenuhnya. ( Thomas Gorden,th.1984,hal.27 ) 
Pendapat ini menyarankan, dengan sikap menerima dengan sungguh – sungguh sehingga anank dapat merasakan bahwa dirinya diterima , akan menciptakan perilaku yang sehat dan positif pada anak. Anak lebih terbuka untuk menyampaikan masalah yang ia hadapi kepada orang tuanya sebab anak yankin bahwa orang tua dapat memehami dirinya sebagaimana mestinya. Penerimaan ini memang menuntut adanya kematangan dipihak orang tua, sebab orang tua yang sudah matang mengutamakan perkembangan individu yang independent tanpa memperdulikan berapa banyak pengorbanan yang dibutuhkan. Orang tua yang kurang matang akan menuntut anak sesuai dengan standard mereka, keadaan ini terlihat pada pemberian nasihat,anjuran, perintah yang berlebihan.
c. Sikap Menolak Anak
Menurut Singguh D Gunarsa sikap menolak berkaitan dengan “ Kurangnya kasih sayang terhadap anak yang tidak diinginkan oleh orang tuanya, anak yang lahir sedangkan orang tuanya tidak mau untuk memiliki anak lagi.” ( Singgih D Gunarsa., Ny. Y. Singgih D Gunarsa, th. 1985, hal. 110 ).  Maka dengan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap penolakan ini berkaitan dengan  sikap acuh tak acuh, kurang memperdulikan anak disertai kurangnya penerimaan dan kasih sayang yang minim. Sikap penolakan ini dapat muncul dengan berbagai cara, baik dengan hukuman secara fisik atau hukuman dengan kata – kata kasar juga sikap yang terus menerus memsuhi anak. Anak yang di tolak hamper tidak pernah dianggap manis atau bail oleh orang tuanya, menkipun anak sudah berusaha berperilaku sebaik mungkin.
Dilihat dari hubungan sikap dan perhatian orang tua terhadap anak, maka dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan peletak dasar dalam mengembangkan potensi yang ada pada anak baik menyangkut segi fisik, rohani maupun jiwanya. Dalam mendidik anak , orang tua akan mengadakan pendekatan – pendekatan tertentu. Pendekatan yamg dimagsud dalam hal ini berkaitan dengan bentuk, gaya, dan corak dari pendidikan yang diberikan orang tua kepada anak. Secara garis besar pendidikan dalam lingkungan keluarga dibedakan menjadi tuga katagori yaitu : pendidikan yang bersifat otoriter, pola pendidikan yang bersifat demokrasi dan pendidikan yang bersifat laise faire.
Dikemukakan oleh Sudardja Adiwikarta bahwa :
Gaya mendidik anak dalam keluarga merupakan kontinum antara yang berfokuskan orang tua dan yang berfokuskan anak. Pada yang pertama akan di tuntut untuk tunduk kepada kehendak orang tua melalui pendekatan yang bersifat otoriter dan juga keras. Sebaliknya di ujung kontinum sang anaklah yang menentukan, sedangkan orang tua mengikuti saja kehendak anak, dengan pendekatan yang memanjakan tentu bentuk – bentuk yang ekstrim sukar didapat dan yang lazim adalah yang bersifat moderat diantara kedua ekstrim tadi. ( Sudardja A,.th.1988,hal.73)

A.                Nuri Yusuf  mengemukakan tiga pola yaitu : a) Pola Otoriter, b)  Pola Demokrasi, c) Pola yang bersifat memeberi kebebasan pada anak. (A. Muri Yusuf, th.1982 hal.29 ).
Dengan mengacu pada pendapat di atas maka dapat di simpulkan bahwa unntuk pendidikan yang bersifat otoriter mengacu pada pendidikan yang bersifat memberi kebebasan pada anak mengacu pada bentuk pendidikan yang bersifat demokrasi mengacu pada sifat yang moderat.

2.1.4.  Pola pendidikan yang bersifat otoriter
Sifat otoriter mengacu pada kekuasaan yang mutlak, yaitu orang tua secara mutlak menentukan segala kegiatan yang harus dikerjakan anak. Anak tinggal menjalankan perintah dan petunjuk yang diberikan oleh orang tua. Ide dan pendapat anak tidak diperhatikan oleh orang tua. Agar anak patuh terhadap perintah, orang tua tidak segan-segan memberi hukuman dan ancaman. Diugkapkan oleh Sunggih D Gunarsa “pada cara inni orang tua menentukan aturan – aturan dan batasan – batasan yang mutlak harus ditaati anak. Anak harus patuh dan tunduk , kalau anak tidak memenuhi tuntutan orang tua, ia akan di ancam dan di hokum.”
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pola indakan otoriter adalah bentuk pendidikan yang berpusat pada orang tua, dimana orang tua menentukan segala aturan, cara, norma dan batasan – batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak. Jika anak tidak mematuhinya anak akan mendapat hukuman atau ancaman.
Pendidikan yang bersifat otoriter lenih banyak menimbulkan masalah pada anak, sebab secara tidak langsung inisiatif maupun ide anak terhalangi oleh aturan dan batasan yang telah di buat orang tua. Keadaan ini menyebabkan sebagai potensi anak terhambat untuk berkembang.
Anak sebagai pribadi yang memiliki perasaan dan pikiran tentu tidak tinggal diam mendapat perlakuan dari orang tuanya, anak tentu akan membuat reaksi terhadap aksi orang tua. Dapat saja reaksi yang di buat anak adalah tunduk dan patuh, melawan secara sembunyi – sembunyi atau juga berperilaku yang tidak wajar.
Pada pola tindakan yang bersifat otoriter ini orang tua memiliki pola pemikiran bahwa apa yang direncanakan oleh dirinya adalah baik dan cocok untuk diberikan pada anak. Tetapi dalam kenyataan tidak demikian halnya sebab apa yang dianggap baik oleh orang tua belum tentu baik dan cocok untuk anak, demikian juga sebaliknya apa yang dianggap baik oleh anak belum tentu baik untuk orang tuanya. Perbedaan konsep ini sering merupakan pangkal dari timbulnya kontra antara anak dengan orang tua yang pada ahirnya menimbulkan problema bagi keduanya. Dalam hal ini orang tua perlu campurtangan pada pembentukan kepribadian anak, sepanjang tidak menghambat potensi dan ide – ide pada anak.

2.1.5  Pola Pendidikan Yang Bersifat Demokrasi
Pada pola pendidikan demokrasi, masing – masing pendapat, ide dan pikiran kedua belah pihak yaitu anak dan orang tua secara bersama – sama di pertimbangkan dan diperhatikan, dan selanjutnya dibahas bersama- sama. Singgih D Gunarsa Berpendapat “ Cara ini memperhatikan dan menghargai kebebasan anak namun kebebasan yang tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh pengertian antara kedua belah piha, anak dan orang tua.” ( Singgih D Gunarsa.,Ny.Y Singgih D Gunarsa,th. 1983,hal.84. Menurut  A  Nuri Yusuf unsur demokrasi yang di junjung tinggi oleh anak dan orang tua meliputi 1) rasa hormat sesame pribadi dan hakekat manusia, 2) keyakinan bahwa semua individu mempunyai kemampuan untuk berfikir kritis, 3) kerelaan berbakti untuk kesejahteraan bersama.” ( A. Nuri Yusuf, th. 1982, hal.30)
Dari pendapat diatas dapat diamati bahwa pada pola demokrasi, tidak ada pihak tertentu yang mempunyai kekuasan  mutlak, sebab masing – masing pihak harus dapat saling menghargai, menghormati dan tenggang rasa untuk kepentingan bersama. Orang tua berusaha memberikan bimbingan pada anak dan anak berusah menerima petunjuk dan bimbingan dari orang tua. Saling berusaha memahami inilah sebabnya diperlakukan dalam menciptakan suatu hubungan yang harmonis sehingga perkembangna anak diharapkan mencapai titik yang optimal. Dengan cara demokratik, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan menampilkan suatu perilaku yang sehat. Anak akan mampu bertindak sesuai dengan norma dan aturan yang ada pada lingkungan sekitar tanpa merasa tertekan . jika ada tingkah lakunya tidak berkenan bagi orang lain ia mampu menunda dan menghargai tuntutsn pada lingkungannya sebagai sesuatu yang memang dapat berbeda dengan norma pribadinya.

2.1.6  Hubungan Antara Ayanh Dan Ibu
Harmonis tidaknya suasana keluarga juga banyak di tentukan oleh hubungan antara kedua orang tua. Suasana hubungan yang sehat cenderung dapat menciptakan keharmonisan, ketentraman, dan kebahagiaan dalam keluarga. Suasana hubungan yang sehat ditandai dengan saling pengertian, saling paham, penerimaan, penghargaan antara ayan dan ibu. Dan secara tidak langsung hubungan antara ayah dan ibu mempunyai dampak pada pembentukan perilaku serta keperibadian anak.
Situasi hubungan ayah dan ibu yang berupa perselisihan, ketegangan, dan pertengkaran mempengaruhi perilaku dan keperibadian anak kearah negative, seperti reaksi neorotis, perasaan rendah diri, dan masalah keperibadian lainnya. Perceraian dan pertengkaran akan menyebabkan anak bingung dan tidak tau harus memihak pada siapa. Kepercayaan pada orang tua akan berkurang sebab orang tua yang selama ini dipercaya dan dijadikan tauladan, tidak lagi memberikan perlindungan dan pengayoman. Kenyataan ini relevan dengan apa yang di kemukakan oleh Singgih D Gunarsa bahwa “ Keributan antara orang tua akan mengagetkan dan membingungkan anak,” ( Singgih D Gunarsa., Ny.Y,. Singgih D Gunarsa,1985,hal.115 ). Pendapat ini memberikan teladan bahwa orang tua sedapat mungkin jangan bertengakar de depan anak – anak. Dengan menghindari pertengkaran di depan anak – anak akan mengurangi ketegangan yang terjadi pada anak. Dan secara tidal langsung membantu mengembangkan suasana keluarga tang sehat.

2.2 Faktor Sekolah
2.2.1 Pengertian Sekolah
Sekolah adalah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran siswa (atau "murid") di bawah pengawasan guru. Sebagian besar negara memiliki sistem pendidikan formal, yang umumnya wajib. Dalam sistem ini, siswa kemajuan melalui serangkaian sekolah. Nama-nama untuk sekolah-sekolah ini bervariasi menurut negara (dibahas pada bagian Daerah di bawah), tetapi umumnya termasuk sekolah dasar untuk anak-anak muda dan sekolah menengah untuk remaja yang telah menyelesaikan pendidikan dasar.
Selain sekolah-sekolah inti, siswa di negara tertentu juga mungkin memiliki akses dan mengikuti sekolah-sekolah baik sebelum dan sesudah pendidikan dasar dan menengah. TK atau pra-sekolah menyediakan sekolah beberapa anak-anak yang sangat muda (biasanya umur 3-5 tahun). Universitas, sekolah kejuruan, perguruan tinggi atau seminari mungkin tersedia setelah sekolah menengah. Sebuah sekolah mungkin juga didedikasikan untuk satu bidang tertentu, seperti sekolah ekonomi atau sekolah tari. Alternatif sekolah dapat menyediakan kurikulum dan metode non-tradisional.
Ada juga sekolah non-pemerintah, yang disebut sekolah swasta. Sekolah swasta mungkin untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus ketika pemerintah tidak bisa memberi sekolah khusus bagi mereka; keagamaan, seperti sekolah Islam, sekolah Kristen, hawzas, yeshivas dan lain-lain, atau sekolah yang memiliki standar pendidikan yang lebih tinggi atau berusaha untuk mengembangkan prestasi pribadi lainnya. Sekolah untuk orang dewasa meliputi lembaga-lembaga pelatihan perusahaan dan pendidikan dan pelatihan militer.
Kata sekolah berasal dari bahasa latin: skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti waktu luang atau waktu senggang, dimana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak ditengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang itu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni). Untuk mendampingi dalam kegiatan scola anak-anak didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada anak untuk menciptakan sendiri dunianya melalui berbagai pelajaran diatas.
Saat ini, kata sekolah berubah arti menjadi: merupakan bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran.Sekolah dipimpin oleh seorang Kepala Sekolah. Kepala sekolah dibantu oleh wakil kepala sekolah.Jumlah wakil kepala sekolah di setiap sekolah berbeda, tergantung dengan kebutuhannya.Bangunan sekolah disusun meninggi untuk memanfaatkan tanah yang tersedia dan dapat diisi dengan fasilitas yang lain.

Sekolah sebagai lingkungan sosila setelah keluarga ikut memberikan sumbangan dalam perkembangan diri siswa. Sekolah sebagai lingkungan pendidikan bukan mengambil alih peranan dan fungsi orang tua dalam mendidik anak dalam keluarga tetapi sekolah bersama – sama dengan orang tua membantu dalam mendidik anak – anak.
Dalam lingkungan sekolah anak mengalami proses belajar mengajar secara formal, baik menyangkut segi pengetahuan, sikap maupun keterampilan dan juga perilaku sosial lainnya. Kesemuanya itu untuk mengembangkan segala potensi anak dalam menghadapi lingkungan berikutnya.

Dikemukakan oleh A. Muri Yusuf bahwa :
Peranan dan fungsi sekolah yang pertama – tama ialah membantu keluarga dalam mendidik anak – anaknya di sekolah. Sekolah, guru, dan tenaga pendidik lainnya melalui wewenang hukum yang dimilikinya berusaha melaksanakan tugaas yang kedua yaitu memberikan pengetahuan keterampilan dan nilai sikap secara lengkap sesuai pula dengan apa yang di butuhkan oleh anak – anak dari keluarga yang berbeda. (A. Muri Yusuf, th.1982,hal.33).
  
Faktor guu dan pendidik lainnya adalah sangat besar peranannya dalam mengembangkan kemampuan anak, baik yang menyangkut segi pengetahuan, sikap aupun keterampilan. Mengingat faktor guru merupakan individu yang banyak bergaul dengan siswa, dalam interaksinya di kelas maka di duga gurulah yang paling banyak memberikan sumbangan dalam pembentukan sikap dan perilaku siswa.
Tugas guru sebagai pengajar da sekaligus sebagai pendidik bukan hanya berperanan mentarnsfer pengetahuan melalui interaksi belajar mengajar, tetapi juga menyagkut pembinaan perkembangan keperibadian dan perilaku anak didik kea rah yang lebih baik.  Sebagai pendidik formal, guru harus dapat memeberikan contoh dan model yang tepat bagi siswa. Sehingga sikap dan perilaku guru merupakan cermin bagi siswa untuk bertindak dan berperilaku.
2.2.2 Hubungan guru dengan siswa
Siswa akan dapat belajar dengan baik dan saling dapat berinteraksi satu sama lain apabila antara siswa dengan siswa , siwa dengan guru terjalin suatu hubungan yang aktip dan positip. Suasana semacam ini dapat di bentuk apabila guru dapat menciptakan suasana hubungan yang sehat dan kondusif untuk proses belajar mengajar.
Thomas Gordon mengemukakan bahwa suasana hubungan guru dengan msiswa yang baik mempunyai cirri :
1)      keterbukaan, sehingga baik guru maupun murid saling bersikap jujur dan membuka diri satu sama lain; 2) tanggap bilamana seseorang tahu bahwa dia dinilai orang lain ; 3) saling ketergantungan, antara satu dengan yang lain; 4) kebebasan yang memperbolehkan setiap orang tumbuh dan mengembangkan keunikannya sehingga tidak ada kebutuhan satu orangpun yang tidak terpenuhi. 
     ( Thomas Gorden,th.1986.hal. 28-29 )   

Dari pendapat diatas dapat ditarik kesimpilan bahwa untuk menciptakan kondisi kelas yang berkeperibadian dan layak untuk mengembangkan potensi siswa, seorang guru perlu bersikap simpatik, energik, aktip, terbuka dan bertanggungjawab. Tanpa memperhatikan faktor ini akan menyebabkan proses belajar mengajar kurang efektif. Diungkapkan oleh Ny. Roestiyah NK “Guru yang kurang berinteraksi dengan murid secara intim, menyebabkan proses belajar mengajar itu kurang lancer. Juga siswa merasa jaug dari guru, maka segan berpartisipasi secara aktif dalam belajar.” (Ny. Roestiyah NK,th.1982, hal.159 ). Tindakan dalam berinteraksi diperlukan oleh siswa dalam menjungjung usahanya untuk belajar dan mengembangkan serta menampilkan diri sesuai dengan kemampuan yang ada padanya menurut situasi dan kondisi ingkungan dimana siswa berada.
2.2.3  Sikap Guru Terhadap Siswa
Guru merupakan salah satu komponen yang penting dan utama di dalam mengembangkan poteni siswa. Sebagai tokoh dalam pendewasaan siswa maka sikap dan perilaku guru haruslah dapat menjadi modal yang baik bagi siswa. Singgih D Gunarsa mengemukakan  “melihat pentingnya peranan guru dalam perkembangan aspek intelektual dan keperibadian anak, maka guru perlu menyadari kedudukan dan sikap – sikapnya maupun keperibadiannya.” ( Singgih D Gunsrsa ., Ny.Y Singgig D Gunarsa,th.1985, hal 97).
Pendapat diatas mengisyaratkan bahwa, sikap dan penampilan guru yang baik sajalah akan dapat menumbuhkan dan mengembangkan keperibadiaan siswa kea rah yang lebih baik pula. Dengan mengacu pada pendapat ini  maka sikap guru dalam penelitian ini dibedakan menjadi tiga sikap yaitu :
1)      sikap otoriter yang mengacu pada sikap memerintah
2)      sikap permissive yang mengacu pada sikap memberi kebebasan pada siswa
3)      sikap riil mengacu pada sikap menerima (acceotance ) yang penuh kehangatan dan simpatik.

2.2.4 Sikap Otoriter.
Sikap guru yang otoriter mengacu pada sikap menguasai, memerintah dan segala inisiatip datang dari guru. Dalam keadaan seperti ini siswa hanya pasif menerima ide – ide guru, mereka bertindak atas dasar perintah yang diberikan guru , bukan bertindak atas dasar kesadaran mereka. Berkaitan dengan masalah ini Sudarja adi wikarta mengemukakan ;
Kekuasaan adalah kekuasaan memaksakan kehendak kepada orang lain, meskipin orang lain itu tidak menghendakinya. Pelajar yang keberadaannya dalam kelas atas dasar kewajiban, mengakui kewenangan gurunya, meskipun demikian kesetiaan pelajar kepada gurunya itu belum tentu dilandasi kesadaran yan mendalam, melainkan mungkin didasari rasa takut akan hukuman apa bila tidak melaksanakan kehendak gurunya itu. (Sudardja Adiwikarta,th.1988,hal.103).  Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa sikap mengancam, memaksa dan memberi hukuman memang dapat menciptakan siswa menjadi patuh dan taat terhadap perintah guru, tetapi justru hal ini akan menghambat siswa untuk mengembangkan potensinya secara baik, sebab siswa berada pada suasana ketakutan akibat ancaman dan hukuman.
Sikap otoriter baik untuk mencapai tujuan mengajar guru tetapi akan menghambat dalam perkembangan pribadi siswa, sebab siswa mengembangkan diri bukan atas dasar kesadarannya tetapi lebih banyak unsur terpaksa dan ketakutan. Diungkapkan oleh S Nasution  “tak jarang guru menjadi otoriter dan menggunakan kekuasaannya untuk mencapai tujuannya tanpa lebih jauh mempertimbangkan akibatnya bagi anak, khususnya bagi perkembangan pribadinya.”( S.Nasution,th.1984,hal.119 ) Pendapat lain mengemukakan “cara otoriter menimbulkan akibat hilangnya kebebasan pada anak , inisiatif dan aktivitasnya menjadi tumpul. ( Singgih D Gunarsa., NY.y. Singgih D Gunarsa,th.1983,hal.83).
Akar pembentukan konsep diri yang negatip dapat terbentuk dari sikap otoriter ini, sikap mengancam, mengejek,memaksa dan mendominasi cenderung menjadikan siswa tertekan dan menyalahkan diri sendiri atau juga siswa tidak percaya atas kemampuannya sendiri.

2.2.5 Sikap Permissive.
Sikap permissive pada pemberian kebebasan pada siswa untuk menentukan dan mengarahkan dirinya tapa adanya ancaman dan paksaan dari guru. Siswa relatif dapat bersikap bebas untuk mengarahkan diri sesuai dengan kemauan dan kehendak yang ada pada diri siswa. Apa yang di pandangnya baik itu yang akan di kerjakan dan dilaksanakan.
S. Nasution mengemukakan “Sikap ini membiarkan anak berkembang dalam kebebasan, tanpa banyak tekanan,frustasi,larangan, perintah ataupun paksaan. ( S. Nasution,th. 1984,hal 119 ). Dalam sikap ini guru bersikap lunak terhadap apa yang dikerjakan oleh siswa. Guru hanya akan bertindak apabila siswa benar – benar memerlukan bantuan.
Dalam sikap permissive ini siswa diberi tanggungjawab untuk mengerjakan tugas sesuai dengan kemampuannya, dengan demikian siswa dapat mengukur seberapa besar kemampuannya dalam menyelesaikan suatu tugas atau kegiatan. Sevara tidak langsung kepercayaan diri pada siswa dapat dikembangkan.
Dilain pihak sikap permissive ini jarang menimbulkan problem bagi siswa maupun pada guru. Siswa yang telah diberi kebebasan mungkinsaja tidak dapat bertindak dengan baik dan kurang dapat bertanggungjawab atas tindakannya, keadaan semacam ini hanya akan menimbulkan kejengkelan pada pihak guru. Sehubungan dengan masalah ini Maryam Rudyanto mengemukakan “ Tetapi masalahnya adalah kalau guru kurang dapat menguasai kelas maka murid – murid akan menjadi terlalu bebas dan berani, jadi kebebasan disalahgunakan.”( Singgih D Gunarsa.,Ny.Y Singgih D. Gunarsa,th.1983,hal.116 ). Untuk mengatasi masalah ini akan diperlukan pengalaman dan kewibawaan dari guru untuk membimbing dan mengarahkan siswa. Fungsi guru disini bukan mengancam dan menghukum tetapi mengarahkan serta membmbing siswa.
Pada prinsipnya bimbingan itu merupakan bagian dari mengajar, sehingga tanpa adanya bimbingan, siswa akan bimbang untuk menentukan kedewasaannya. Sikap permissive sebenarnya baik, kalau pendidik atau guru dapat menjadi pembimbing dan fasilitator yang berpengalaman dan berwibawa, tetapi karena pelaksananya lebih sulit maka seorang guru yang ingin melaksanakan sikap ini perlu mempersiapkan diri terlebih dahulu.

2.2.6 Sikap Riil
Sikap riil dari guru mengacu pada kehidupan manusia yang harus menghadapi realitas kehidupan, antara kebebasan dengan aturan harus berjalan seimbang. Hal ini berarti pendidikan memerlukan suatu aturan dan bimbingan. Jadi sikap riil ini merupakan sikap yang moderat ( demokrasi ) yaitu tidak cenderung otoriter  (Power) dan juga tidak cenderung memberikan kebebasan (permissive ) yang berlebihan.
Sikiap riil, merupakan sikap yang dapat dilaksanakan untuk menghindari sikap otoriter dan permissive. Seperti telah diuraikan , sikap otoriter tidak mendidik anak untuk menjadi manusia yang merdeka dan bebas menentukan dirinya secara bertanggung jawab, demikina juga sikap permissive yang terlaliu memberi kebebasan pada anak yang sebenarnya, tidak memberikan bimbingan pada anak. Berkaitan dengan masalah ini S. Nasution menasehatkan “ Sikap pendidik hendaknya jangan terlalu otoriter atau terlampau permissive akan tetapi harus realistis.” ( S. Nasution, th. 1984,hal,120 ).
Pemberian penghargaan terhadap pendapat yang dikemukakan siswa merupakan rangsangan yang dapat menumbuhkan sikap percaya diri siswa. Siswa yang secara terus menerus mendapat sikap dan perlakuan yang baik dari guru dan juga lingkungan lainnya, maka dalam dirinya akan tumbuh konsep diri yang baik juga. Hal ini berarti sikap guru untuk menciptakan suasana demokratis agar siswa belajar lebih banyak.



2.3 Konsep Diri Siswa .
2.3.1 Pengertian konsep diri
Menurut Burns (1993:vi) konsep diri adalah suatu gambaran campuran dari apa yang kita pikirkan orang-orang lain berpendapat, mengenai diri kita, dan seperti apa diri kita yang kita inginkan. Konsep diri adalah pandangan individu mengenai siapa diri individu, dan itu bisa diperoleh lewat informasi yang diberikan lewat informasi yang diberikan orang lain pada diri individu (Mulyana, 2000:7). Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa konsep diri yang dimiliki individu dapat diketahui lewat informasi, pendapat, penilaian atau evaliasi dari orang lain mengenai dirinya. Individu akan mengetahui dirinya cantik, pandai, atau ramah jika ada informasi dari orang lain mengenai dirinya.
Sebaliknya individu tidak tahu bagaimana ia dihadapkan orang lain tanpa ada informasi atau masukan dari lingkungan maupun orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari secara tidak langsung individu telah menilai dirinya sendiri. Penilaian terhadap diri sendiri itu meliputi watak dirinya, orang lain dapat menghargai dirinya atau tidak, dirinya termasuk orang yang berpenampilan menarik, cantik atau tidak. Seperti yang dikemukakan Hurlock (1990:58) memberikan pengertian tentang konsep diri sebagai gambaran yang dimiliki orang tentang dirinya. Konsep diri ini merupakan gabungan dari keyakinan yang dimiliki individu tentang mereka sendiri yang meliputi karakteristik fisik, psikologis, sosial, emosional, aspirasi dan prestasi.
Menurut William D. Brooks bahwa konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita (Rakhmat, 2005:105). Sedangkan Centi (1993:9) mengemukakan konsep diri (self-concept) tidak lain tidak bukan adalah gagasan tentang diri sendiri, konsep diri terdiri dari bagaimana kita melihat diri sendiri sebagai pribadi, bagaimana kita merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana kita menginginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana kita harapkan.
Konsep diri didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang, perasaan dan pemikiran individu terhadap dirinya yang meliputi kemampuan, karakter, maupun sikap yang dimiliki individu (Rini, 2002:http:/www.e-psikologi.com/dewa/160502.htm). Konsep diri merupakan penentu sikap individu dalam bertingkah laku, artinya apabila individu cenderung berpikir akan berhasil, maka hal ini merupakan kekuatan atau dorongan yang akan membuat individu menuju kesuksesan. Sebaliknya jika individu berpikir akan gagal, maka hal ini sama saja mempersiapkan kegagalan bagi dirinya.
Dari beberapa pendapat dari para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah cara pandang secara menyeluruh tentang dirinya, yang meliputi kemampuan yang dimiliki, perasaan yang dialami, kondisi fisik dirinya maupun lingkungan terdekatnya.
     
2.3.2  Faktor-faktor yang mempengaruhi Konsep Diri dan tata cara bagaimana  Merubah Konsep   Diri


1. Berbagai faktor dapat mempengaruhi proses pembentukan konsep diri seseorang, seperti :


a.      Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh orang tua turut menjadi pola signifikan dalam mempengaruhi konsep diri yang terbentuk. Sikap positif orang tua yang terbaca oleh anak, akan menumbuhkan konsep dan pemikiran yang positif serta sikap menghargai diri sendiri. Sikap negatif orang tua akan mengundang pertanyaan pada anak, dan menimbulkan asumsi bahwa dirinya tidak cukup berharga untuk dikasihi, untuk disayangi dan dihargai; dan semua itu akibat kekurangan yang ada padanya sehingga orang tua tidak disayang. 
b.   Kegagalan
Kegagalan yang terus menerus dialami seringkali menimbulkan pertanyaan kepada diri sendiri dan berakhir dengan kesimpulan bahwa semua penyebabnya terletak pada kelemahan diri. Kegagalan membuat orang merasa dirinya tidak berguna.  
c.   Depresi
Orang yang sedang mengalami depresi akan mempunyai pemikiran yang cenderung negatif dalam memandang dan merespon segala sesuatunya, termasuk menilai diri sendiri. Segala situasi atau stimulus yang netral akan dipersepsi secara negatif. Misalnya, tidak diundang ke sebuah pesta, maka berfikir bahwa karena saya “miskin” maka saya tidak pantas diundang. Orang yang depresi sulit melihat apakah dirinya mampu survive menjalani kehidupan selanjutnya. Orang yang depresi akan menjadi super sensitif dan cenderung mudah tersinggung atau “termakan” ucapan orang.
d.   Kritik Internal
Terkadang, mengkritik diri sendiri memang dibutuhkan untuk menyadarkan seseorang akan perbuatan yang telah dilakukan. Kritik terhadap diri sendiri seiring berfungsi menjadi regulator atau rambu-rambu dalam bertindak dan berperilaku agar keberadaan kita diterima oleh masyarakat dan dapat beradaptasi dengan baik.
2.3.3          Merubah Konsep Diri
Seringkali diri kita sendirilah yang menyebabkan persoalan bertambah rumit dengan berfikir yang tidak-tidak terhadap suatu keadaan atau terhadap diri kita sendiri. Namun, dengan sifatnya yang dinamis, konsep diri dapat mengalami perubahan kearah yang lebih positif. Langkah-langkah yang perlu diambil untuk memiliki konsep diri yang positif :
a.   Bersikap obyektif dalam mengenali diri sendiri
Jangan abaikan pengalaman positif ataupun keberhasilan sekecil apapun yang pernah dicapai. Lihatlah talenta, bakat dan potensi diri dan carilah cara dan kesempatan untuk mengembangkannya. Janganlah terlalu berharap bahwa anda dapat membahagiakan semua orang atau melakukan segala sesuatu sekaligus.

b.   Hargailah diri sendiri
Tidak ada orang yang lebih menghargai diri kita selain diri sendiri. Jikalau kita tidak bisa menghargai diri sendiri, tidak dapat melihat kebaikan yang ada pada diri sendiri, tidak mampu memandang hal-hal baik dan positif terhadap diri, bagaimana kita bisa menghargai orang lain dan melihat hal-hal baik yang ada dalam diri orang lain sangat perlu diperhatikan.
c.       Jangan memusuhi diri sendiri
Peperangan terbesar dan paling melelahkan adalah peperangan yang terjadi dalam diri sendiri. Sikap menyalahkan diri sendiri secara berlebihan merupakan pertanda bahwa ada permusuhan dan peperangan atara harapan ideal dengan kenyataan diri sejati (real self). Akibatnya, akan timbul kelelahan mental dan rasa frustasi yang dalam serta makin lemah dan negatif konsep dirinya.
Untuk mengarahkan kematangan konsep diri anak, kita harus mengenal unsur-unsur gabungan dari karakteristik citra fisik, citra psikologis, citra sosial, aspirasi, prestasi dan emosional yang membentuk konsep diri, (Surya, H, 2007:5) antara lain:
a.       Penilaian diri.
Penilaian diri ini merupakan cara pandang dan keyakinan untuk menakar atau mengukur terhadap :
·         Pengendalian keinginan atau dorongan dari dalam diri ini yang menjadi ukuran kesanggupan, keberanian, kebutuhan dan perasaan dalam diri. Pengendalian keinginan dan dorongan dalam diri ini yang memberi pengaruh gambaran konsep diri positif atau negatif.
·         Suasana hati yang sedang dihayati, seperti senang, bahagia, cemas atau sedih. Gambaran keadaan suasana hati ini yang mempengaruhi konsep diri positif atau negatif.
·         Penilaian citra fisik. Jika penerimaan terhadap kondisi fisik cukup memuaskan, konsep diri yang terbentuk pun positif. Tetapi, jika penilaian penerimaan fisik sangat buruk atau tidak puas dengan penampilan fisik, konsep diri pun jadi dihinggapi perasan rendah diri.
b.      Penilaian sosial.
Salah satu  unsur yang mempengaruhi terbentuknya konsep diri adalah penilaian terhadap bagaimana penilaian dan penerimaan lingkungan sosial terhadap diri anak. Penerimaan dan penilaian anak yang supel, cerdas, dan hebat dapat meningkatkan konsep diri anak secara positif. Sebaliknya, penerimaan ligkungan yang buruk terhadap anak, seperti anak dianggap nakal, bodoh, jelek, dan sebagainya, dapat menyebabkan anak memiliki konsep diri negatif.
c.       Citra diri.
            Citra diri ini merupakan gambaran yang meliputi:
·         bagaimana penilaian diri sendiri, seperti tingkat kecerdasan, status sosial maupun ekonomi dan peranan dalam lingkungan sosial,
·         Cita-cita ideal anak yang ingin dicapai dan seberapa besar pengaruh tokoh-tokoh ideal yang diidolakan, baik yang ada di lingkungan atau idola fantasi,
·         Keberartian diri (kebanggaan diri), seperti peranan diri dalam lingkungan atau penilaian lingkungan terhadap diri anak.  

Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan  atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Seseorang dikatakan mempunyai konsep diri negative jika ia menyakini dan memandang bahwa dirinya lemag, tidak berdaya, tidak berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Orang dengan konsep diri negative akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan da ksempatan, namun lebih sebagai halangan. Orang dengan konsep diri negatif, akan mudah menyerah sebelum berperang dan jika gagal, akan ada dua pihak yang disalahkan, entah itu menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau menyalahkan  orang lain. Sebaliknya seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap positif tergadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan bukan dipandang sebagai kematian, namun lebih menjadikannya sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Orang dengan konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang (google, 2002:1).
            Konsep diri juga dapat diartikan Perilaku yang di tampakkan seseorang tidak lepas dari apa yang ada di dalam dirinya. Dan perilaku tersebut merupakan hasil dari interaksi individu dengan lingkungannya. Konsep diri yang merupakan dasar dari semua perilaku, akan menentukan bagaimana perilaku individu dalam berinteraksi dengan individu lain.
            Cohen mengemukakan bahwa “ Konsep diri dapat diartikan sebagai gambaran mental seseorang terhadap dirinya. Didalamnya terkandung pengertian sikap terhadap diri, keyakinan dan penghargaan diri.” ( I wayan Tirka, th.1989,hal.48 ). Pendapat yang dikemukakan oleh Asep Diyatna mengatakan “Konsep diri merupakan gambaran tentang diri atau pandangan yang dimiliki oleh seseorang tentang dirinya.” ( Asep Diyatna,th.1987,hal.117 ). Berdasarkan beberapa pendapat tadi maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang di maksud dengan konsep diri dalam penelitian ini adalah gambaran mental seseorang terhadap diri, penilaian terhadap diri serta pandangan terhadap diri yang bersifat psikologis, sosial maupun fisik serta usahanya untuk mempertahankan dan menyempurnakan diri. Konsep diri hanya terdapat dalam pikiran seseorang dan bukan dalam kenyataan yang kongkrit.
Sumadi Suryabrata mengungkapkan,
Bagi individu konsep diri dapat berupa objek dan sekaligus sebagai proses. Sebagai objek berarti individu menunjukkan sikap, perasaan, pengamatan dan penelitian seseorang terhadap dirinya. Sedangkan sebagai proses konsep diri merupakan suatu kesatuan dari aktivitas berfikir, mengingat dan mengamati.          ( Sumadi Suryabrata th.1986,hal.289)


Dalam hal ini terdapat dua komponen konsep diri yaitu konsep diri sebagai objek yang mengacu pada segi efektif dan konsep sebagai proses mengacu pada segi kognitif. Dari segi kognitif dapat jadi berupa  “ Saya ini orang males dan segi efektifnya ‘Saya senang diri saya males”.

2.3.4 Pembentukan Konsep Diri
Joan rais mengemukakan “ Konsep diri itu sebetulnya terbentuk berdasarkan persepsi seseorang mengenai sikap – sikap orang lain terhadap dirinya.” ( Singgih D Gunarsa., Ny. Y. Singgih D Gunarsa,th.1983, hal 238). Dalam hal ini seseorang akan melihat, mengamati, bagaimana sikap orang lain terhadap dirinya, ini merupakan stimulus bagi terbentuknya konsep diri. Jadi bagaimana seeorang merespon sikap orang lain, itulah yang akan membentuk konsep dirinya.
Perkembangan konsep diri merupakan hasil pengalaman di dalam dan di luar rumah. ( Sekolah,kelompok bermain dan dalam beberapa kelompok sosial ) dimana seorang anak mengidentifikasikan dirinya. Jadi setiap orang akan mempengaruhi konsep diri anak dan masing – masing pengaruh sosial itu akan memeberikan pengaruh yang tidak sama pada pembentukan konsep diri anak. Hal ini digambarkan oleh F.J Brown. Pola perilaku yang positif di bentuk oleh konsep diri yang positif pola, sebab perilaku yang positif merupakan cerminan dari konsep diri positif.
Dengan semakin bertambahnya usia seseorang maka akan semakin banyak pengalaman yang di dapatkan, demikian juga dengan konsep diri, akan mengalami perubahan seirama dengan perkembangan pengalaman seseorang. Konsep diri yang kurang rasional akan berubah menuju kearah yang lebih rasional dan konsisten. Jadi semakin dewasa seorang individu baik fisik maupun psikis, maka konsep dirinya akan semakin rasional dan konsisten.

2.3.5 Aspek – Aspek Konsep Diri.
Symond mengemukakan aspek – aspek dari konsep diri yang menurutnya ‘self’ menjadi empat aspek yaitu : “1) bagaimana orang mengamati diri sendiri, 2) bagaimana orang berfikir tentang diri sendiri, 3) bagaimana orang menilai dirisendiri, 4) bagaimana orang berusaha dengan berbagai cara untuk menyempurnakan dan mempertahankan diri .” ( Sumadi Suryabrata,th.1983,hal 300 ). Sedangkan Robert Leonetti membegi konsep diri menjadi dua aspek yaitu “ Kepercayaan diri dan penghargaan diri.” ( I Wayan Tirka,th.1989,hal.48 ).
Dari kedua pendapat ini dapat disimpulkan bahwa seseorang yang dapat mengamati, berfikir menilai diri secara tepat akan dapat menginterprestasikan  bagaimana kepercayaan diri dan penghargaan dirinya secara baik pula.
Penelitian ini menggunakan konsep diri yang dikemukakan oleh Robert Leonetti. Konsep diri yang akan di teliti adalah mengenai kepercayaan diri saja. Dengan kepercayaan diri memungkinkan siswa berperilaku sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya secara meyakinkan.
Kenudian Maslow menambahkan
Pemuasan akan kebutuhan  ini akan membawa individu untuk percaya diri sendiri,berguna,berharga,kuat,cakap. Ia merasa berguan dan di berlakukan hidupnya di dunia ini. Bila individu tidak terpenuhi akan kebutuhan ini akan menimbulkan rasa rendah diri, tidak berharga, tidak berguna ( Ny. Siti Partini Suardiman S.U.th.1986,hal.98 ).

Dari kedua pendapat ini dapat disimpulkan bahwa kebutuhan akan percaya diri sendiri merupakan hal yang perlu mendapat pemuasan, dengan terpenuhinya kebutuhan ini individu sksn merasa berguna dan dibutuhkan oleh orang lain. Salah datu penghambat tumbuhnya rasa percaya diri, datang dari faktor keluarga yaitu dalam hubungannya antara anak dengan ibunya.  Hal ini berarti peranan reinforcement sangat besar artinya, seperti anggukan tanda setuju, senyuman, pujian akan menjadi stimulus bagi peningkatan rasa percaya diri. Hal ini berarti pernyataan yang dibuat oleh orang tuanya , pujian atau celaan semuanya membantu untuk perkembangan konsep diri.

2.4 Kerangka Berfikir
1.          Hubungan Antara Faktor Keluarga Dengan Konsep Diri.
      Keluarga merupakan faktor penting dalam perkembangan konsep diri, sebab kita sadari bahwa kehidupan pertama dan utama seseorang diawali dari lingkungan ini. Lingkungan keluarga merupakan tempat dasar dari pembentukan konsep diri terutama konsep diri primer. Mengingat konsep diri yang didasari dan oleh sikap dan penilaian orang lain maka lingkungan keluarga yang merupakan  Significant Other dan Affective other  terdekat akan menentukan lebih banyak dalam pembentukan konsep diri. Hal ini berarti sikap dan penelitian orang lain terutama orang tuanya akan memeberikan sumbangan bagi pembentukan konsep diri yang positif. Demikian juga sikap dan penelitian orang lain yaang jelek akan memberikan sumbangan bagi pembentukan konsep diri yang negatif.
Sikap terlalu melindungi dari orang tua terhadap anak tidak saja mengendorkan keberanian anak tetapi juga tidak mengembangkan rasa percayadiri serta menumbuhkan sikap ketergantungan anak terhadap orang tua. Dengan keadaan ini konsep diri yang terbentuk cenderung negatif, seperti kurang yakin terhadap kemampuannya,ingin menggantungkan diri pada oranglain,kurang mengembangkan inisiatif,pendeknya anak takut menjadi dewasa.
Sikap permisive merupakan sikap memberi kebebasan pada anak, bebas untuk menentukan cara berfikir,mengatur waktu dan sebagainya. Dengan terlalu longgarnya pengawasan orang tua, anak kadang berlaku sembrono, sehingga berakibat privecy sulit diterapkan. Di sisi lain dengan adanya kebebasan ini anak mampu berfikir sendiri,serta menentukan prilakunya sendiri hal ini menjadikan anak punya rasa percaya diri yang tinggi, tetapi seperti di ketahui bahwa seorang anak atau remaja sebagai mana umumnya cara berfikir, bersikap dan berprilaku kadang kurang logis, kurang rasional. Dalam keadaan seperti ini anak kurang dapat mengarahkan dirinya secara tepat.
Karena anak harus menentukan sendiri cara berfikir, cara bersikap dan berperilaku maka konsep dirinya kadang tidak terarah, dan bukan tidak mungkin konsep diri yang terbentuk cenderung negatif. Anak yang mempunyai ide,fikiran dan perasaan yang dinamis kalau tidak diarahkan secara tepat,maka ide dan cara berfikir anak menjadi tidak terarah. Di lain pihak ide dan pemikiran yang mendapat tekanan dan ancaman dari orang tua juga tidak dapat berkembang secara tepat dan perkembangannya menjadi sangat terhambat. Tetapi kalau ide dan pemikiran anak mendapat bimbingan yang cukup dan tepat anak akan dapat berkembang ke dalam kedewasaan yang terarah.
Dalam kaitannya dengan pembentukan konsep diri maka, sikap menerima atau acceptance ini cenderung memeberikan sumbangan yang positif,karena anak yang dalam proses mencapai kedewasaan mendapat bimbingan dan pengarahan yang cukup dan tidak berlebihan.
Demikian pula dengan cara orang tua mengasuh dan mendidik anak akan membawa dampak terhadap perkembangan konsep diri dan variasi kehidupan dalam keluarga akan memebawa gambaran konsep diri seorang anak.
Joan Rais mengemukakan : Konsep tentang bagaimana dirinya banyak bermula dari perbandingan antara dirinya dengan saudara-saudara yang lainnya sedang konsep tentang bagaimana perannannya aspirasi-aspirasinya ataupun tanggungjawabnya dalam kehidupan ini banyak di tentukan atas dasar guna pendidikan ataupun tekanan – tekanan yang datang dari orang tuanya ( Singgih D. Gunarta., Ny.Y.Singgih D.Gunarsa,th,1985 )
Orang tua yang mendidik anak dengan penuh kekerasan dan dengan otoriter akan menjadikan anak patuh terhadap orang tua bahkan akan menjadi seorang anak yang sangat penurut, tetapi perilaku yang akan di tampakkan akan kaku sebab apa yang dia kerjakan harus menunggu perintah orang tuanya. Keadaan ini akan berakibat anak kehilangan rasa percayadiri pada diri sendiri dan juga pada lingkungan sekitar, anak akan kehilangan kebebasab dan inisiatif-inisiatifnya. Gambaran diri dan penilaian diri anak menjadi negatif, jika secara terus menerus anak mendapat tekanan dan ancaman dari orang tua secara umum dapat dikatakan kalau penilaian dan pemahaman diri anak rendah maka konsep diri tentang kepercayaan dirinya juga turut melemah.
Sedang orang tua yang memeberikan asuhan dengan memberikan kebebasan sepenuhnya pada anak maka pengawasan orangtua menjadi longgar,karena anak harus menentukan sendiri apa yang harus dikerjakan maka perkembangan konsep dirinya tidak akan terarah meskipun anak mempunyai kepercayaan yang tinggi. Tetapi hal ini tidak menjadikan diri anak berkembang dengan positif, malah sebaliknya anak yang mempunyai kepercayaan diri berlebihan dapat menjurus pada usaha yang tak kenal lelah dan sering tidak berhati-hati serta seenaknya.
Orang tua yang dapat memeberikan asuhan secara baik dalam artian tidak terlalu otoriter dan tidak terlalu memberikan kebebasan pada anak maka akan membantu anak dalam pertumbuhannya kedalam arah yang lebih baik yaitu anak dapat menilai dan mempunyai gambaran diri secara tepat sehingga anak mampu menghormati dan menerima dirinya dengan baik. Anak yang dapat menilai dan melihat gambaran diri serta dapat menerima diri sebagai mana adanya di duga ia akan mempunyai rasa percaya diri yang baik.
Pemahaman orang tua mengenai eksistensi anak merupakan modal bagi terselenggaranya bimbingan yang tepat dan terarah. Hal ini akan membantu anak untuk menjadi pribadi yang sehat dan penuh tanggung jawab. Faktor kerukunan dalam keluarga akan menumbuhkan keharmonisan hubungan antar anggota keluarga. Hal ini akan menjadi dasar yang penting bagi pembentukan konsep diri siswa yang baik. Dengan kata lain kehidupan keluarga yang harmonis ,dinamis,statis,akan membentuk perkembangan konsep diri yang baik.namun sebaliknya jika hubungan antara anak dengan orangtua tidak baik maka tidak dapat diharapkan anak meiliki konsep diri yang baik dan dinamis.
Melihat uraian diatas maka dapat dikemukakan bahwa faktor keluarga dapat memberikan kontribusi dan menentukan secara positif terhadap pembentukan konsep diri.

2.      Hubungan Antara Faktor Sekolah Dengan Konsep Diri
Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang kedua setelah keluarga juga bertanggungjawab di dalam mengembangkan diri anak. Sekolah selalu memberikan ilmu pengetahuan, juga berkewajiban membina sikap dan perilaku anak. Dengan demikian lingkungan sekolah akan banyak menentukan pembentukan konsep diri anak. Suasana sekolah yang dapat memepengaruhi konsep diri siswa dapat berupa sikap guru dengan siswa,dan hubungan antara siswa dengan guru. Sikap guru yang mendukung perilaku siswa yang positif dapat menjadikan stimulus bagi siswa untuk dapat menili diri dengan baik serta meningkatkan citra diri. Guru yang bersikap objektif, bersahabat, akan membantu siswa dalam mengembangkan konsep diri sekundernya, terutama yang berkaitan dengan kepercayaan  diri siswa.
Guru yang bersikap riil dan demokratis akan sangat memebantu perkembangan konsep diri siswa ke arah yang lebih nyata hal ini dapat di pahami karena guru yang bersikap riil akan dapat bersikap objektif,adil dan bijaksana. Hukuman dan ancaman tidak banyak berlaku dalam sikap guru yang seperti ini. Guru lebih dapat memperlakukan siswa sebagai indi vidu yang mempunyai potensi, perasaan dan pikiran yang perlu mendapat bimbingan dan pengarahan secara tepat. Sehingga sikap guru yang bijaksana tidak sering menghukum akan mempunyai andil yang besar dalam pembentukan konsep diri. Anak akan dapat bertindak dengan tepat apabila dapat pengarahan yang tepat,tidak terlalu bebas dan tidak terlalu otoriter. Dalam keadaan seperti ini guru membentu menciptakan suasana yang kondusip. Suasana yang kondusif membantu siswa dalam mengembangkan ganbaran dan penilain diri yang pada ahirnya tercipta kepercayaan diri siswa yang realistis.
Sikap otoriter dari guru lebih banyak memberikan tekanan dan hambatan terhadap perkembangan siswa.dalam sikap otoriter ini ancaman dan hukuman lebih banyak di terapkan di kelas. Dengan sikap ini guru memiliki kekuasaan unuk menentukan dan mengatur kelas sesuai dengan cara atau metode yang dianggapnya paling baik. Guru kurang menyadari bahwa siswa yang dihadapinya merupakan pribadi yang unuik dan didalam nya ada perbedaan yang perlu mendapat perlakuan berbeda sesuai dengan potensinya. Siswa yang mendapat perlakuan yang tidak tepat cenderung bertindak tidak tepat pula karena dia tidak mengetahui bagaimana dia harus bertindak,tambahan dengan sikap mengancamkurang menghargai siswa, menyalahkan pendirian siswa,hanya akan membuat siswa kurang dapat menilai dan melihat gambar dirinya, siswa cenderung tidak menyenangi dirinya sendiri. Keadaan ini dapat menjadi akar dari rasa ketidak percayaan pada kemampuan yang ada pada dirinya. Hal ini berarti konsep dirinya tidak berkembang secara baik.
Sedangkan sikap permissive dari guru tidak memberikan otoriter yang dijadikan model pembentukan konsep diri. Dengan sikap permissive ini siswa lebih banyak mengatur dan mengarahkan diri sesuai dengan keadaan dirinya. Guru yang membiarkan anak-anak melakukan apa yang mereka inginkan tidak memeberi bimbingan dan juga tidak mengajarmereka. Dengan keadaan ini anak-anak justru mengalami ganguan mental karena tidak mempunyai pegangan yang tegas dalam kehidupan akibat kebebasan yang berlebihan. Meskipun disadari bahwa dengan sikap ini rasa percaya diri lebih tinggi tapi dengan kurangnya bimbingan yang tepat dan terarah hanya akan membuat usaha tak kenal lelah dan siswa sering bertindak kurang hati-hati. Pada saat seperti ini kehadiran guru yang memberikan petunjuk dan bukan ancaman akan lebih tepat dalam mengarahkan diri siswa kearah yang lebih positif dan ini mendorong untuk terbentuknya konsep diri yang positif dan realistis.
Siswa akan dapat mengembangkan konsep diri yang realistis dan logis apabila dalam sekolah tersebut terdapat hubungan yang akrab dan harmonis.keadaan seperti ini hanya mungkin terjadi apabila para guru memeperhatikan faktor ini. Untuk para guru perlu berperilaku bijaksana dan objektif terhadap siswa. Siswa yang merasa dihargai dan diterima oleh warga sekolah terutama guru di duga akan lebih baik akan dalam mengembangkan konsep dirinya para guru yang dengan serius memeperhatikan hubungan dengan siswa, akan banyak membantu siswa dalam menemukan gambaran diri serta dapat menilai dirinya secara tepat.
Thomas gorden mengemukakan bahwa hubungan guru dengan murid dikatakan baik apabila hubungan itu mempunyai sifat 1) keterbukaan, 2) tanggap, 3)saling ketergamtungan, 4) kebebasan, 5)dan saling memenuhi kebutuhan (Thomas Gordon,th,1986,hal 28-29). Dalam keadaan hubungan yang akrab ini guru dapat memberikan pengarahan dan bimbingan secara lebih baik. Singgih D, Gunarsa mengemukakan ...dengan demikian dapat dikatakan bahwa seorang guru cukup besar pengaruhnya dalam pembentukan patokan-patokan hidup,sikap-sikap dan tingkahlaku yang dicita-citakan. ( Singgih D. Gunarsa., Ny.Y. Singgih D.gunarsa,th. 1985,hal 97).
Dengan adanya hubunhgan guru murid yang dicirikan  oleh thomas Gorden , serta keberadaan guru dalam mengembangkan kedewasaan siswa yang di kemukakan oleh singgih D. Gunarsa akan banyak membantu dalam pengembangan konsep diri siswa kearah yang lebih positif dan realistis.
Memperhatikan uraian diatas dapat dikemukakan bahwa faktor sekolah memeberikan sumbangan yang positif dalam terhadap pembentukan konsep diri siswa.



2.7 Hipotesis Penelitian
            Sebelum diajukan hipotesis dalam penelitian ini terlebuh dahulu akan dikemukakan secara singkat tentang pengertian hipotesis. Nyoman dantes mengemukakan hipotesis dapat di definisikan sebagai jawaban sementara yang diajukan sebagai pemecahan masalah. (Nyoman dantes, th. 1986,hal 8). Sumadi suryabrata mengemukakan  hipotesis penelitian adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris. (Sumadi suryabrata, th 1985,hal 75 ).
Dengan mengacu dari beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah yang diajukan yang belum sepenuhnya diakui kebenarannya dan diperlukan secara empiris. Maka dari itu dikenal dengan adanya pengetesan atau pengujian hipotesis. Hipitesis di tolak apabila palsu dan diterima apabila fakta-fakta memebenarkannya dan hipotesis akan menjadi tesa (tesis)
Berdasarkan kajian teori,hasil penelitian ,kerangka berfikir, dan asumsi yang digunakan maka diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut :
1. Terdapat korelasi yang positip dan signifikan antara faktor keluarga terhadap konsep diri siswa pada parasiswa sekolah menengah kejuruan negeri 3 Singaraja Pada kelas X  tahun ajaran 2009-2010.
2. Terdapat korelasi yang positip dan signifikan antara faktor sekolah terhadap konsep dirisiswa pada parasiswa sekolah menengah kejuruan negeri 3 Singaraja Pada kelas X tahun ajaran 2009-2010.

3. Semakin besar koefisien determinasi paktor keluarga dan faktor sekolah akan semakin baik konsep diri siswa pada para siswa sekolah menengah kejuruan negeri 3 Singaraja Pada kelas X tahun ajaran 2009-2010.




















BAB III
METODE PENELITIAN


Metode merupakan salahsatu syarat yang penting dan harus dipenuhi dalam kegiatan penelitian. Dengan menggunakan metode penelitian ini kita dapat menemukan informasi atau pengetahuan yang benar dan akurat. Penelitian yang dilakukan memang menuntut adanya suatu kebenaran dan harga ilmiah yang setunggi-tingginya, hal ini dikemukakan agar penelitian yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
            Dikemukakan oleh Wayan Bawa bahwa, cara memeperoleh pengetahuan yang benar-benar dipandang ilmiah adalah dengan melalui metode (pendekatan ) ilmiah. (Wayan bawa,th 1986, hal 3)
            Bwerkaitan dengan metode ilmiah ini maka dalam hal ini akan dibahas secara berturut-turut mengenai : 1) cara pendekatan, 2) populasi penelitian, 3) sumber variasi populasi, 4) identifikasi ubahan ,
1.      Cara pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara pendekatan empiris, yaitu suatu cara untuk mengadakan pendekatan terhadap subjek penelitian dimana gejala yag akan di teliti sudah tersedia secara wajar.
Keuntungan dengan metode ex post facto ini adalah peneliti tidak perlu menimbulkan fenomena pada subjek peneliti. Jadi dapat langsung mengadakan penelitian langsung mengadakan penelitian di tempat tersebut. Kelemahannya adalah jika pada tempat yang akna diteliti fenomena tersebut tidak ada , maka peneliti harus mencari data di tempat lain. Oleh karena itu penelitian pendahuluan perlu dilakukan terlebih dahulu untuk mengetahui ada tidaknya fenomena yang akan diteliti.
2.      Populasi penelitian dan sampling
Menurut sujana yang dimaksud populasi adalah : totalitas semua nilai yang munkin dari hasil menghitung ataupun pengukuran, kuantitatif maupin kualitatif banyak yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya. (Sudjana,th. 1982.hal 5).
Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan diduga (Singarimbun, Masri dan Effendi, 2004:152). Populasi pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu populasi target dan populasi terjangkau Fraenkel and Wallen 1993;80 (dalam Mastiningsih  2005;60)
Dengan mengacu pada pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa populasi adalah seluruh individu dan atau nilai-nilai yang mungkin dari hasil perhitungan baik bersifat kuantitatif maupun kualitatif berkenaan dengan ciri-ciri suatu objek yang nantinyaakan dikenal generalisasi.
Populasi dalam penelitian ini menggunakann tehnik Random Sampling 3 kelas dimana objeknya adalah siswa sekolah menengah Kejuruan Negeri 3 Singaraja Kelas X

3.      Sumber Variabel Populasi
Suatu penelitian yang dilakukan diharapkan bahwa peneliyian yang dilakukan benar-benar dapat mencerminkan keadaan yang sesungguhnya dari objek atau fenomena yang diteliti. Semakin besar dan semakinbanyak faktor objek atau fenomena yang di teliti, maka makin banyak faktor yang harus diperhitungkan . faktor-faktor yang memepengaruhi penelitian inilah yang disebut sumber variasi.
Sutrisno hadi mengemukakan  : faktor-faktor yang menjadi sumber variasi dari hasil pengukuran pada pokoknya apat digolongakan dalam : 1) perbedaan yang terdapat pada objek yang diukur, 2) perbedaan situasi pengukuran yang dilakukan, 3) perbedaan alat pengukuran yang digunakan, 4)perbedaan penyelenggaraan atau administrasinya, 5) perbedaan percobaan atau penelitian hasil pengukurannya.

4.      Identifikasi perubahan
Nyoman dantes mendefinisikan bahwa : Variabel (ubahan) adalah penggolongan suatu objek,kelompok,kejadian dan sebagainya menurut ciri-ciri tertentu. (Nyoman dantes,th 1986 hal 2). Sumadi Suryabrata berpendapat seringpula dinyatakan pariabel penelitian itu sebagai suatu faktor-faktor yang berperanan dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti.(Sumadi suryabrata,th 1983 hsl 79).
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa fariabel adalah faktor-faktor yang akan menjadi objek pengamatan penelitian yang dapat dikelompokkan meuurut ciri-ciri tertentu.
3.1 Metode Pengumpulan Data dan Instrumen
a.       Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang akurat sesuai dengan masalah yang digunakan adalah data tentang konsep diri, rasa percaya diri dan kemampuan bersosialisasi. Teknik non-tes merupakan prosedur pengumpulan data yang dirancang untuk memahami pribadi siswa, yang pada umumnya bersifat kualitatif. Teknik ini tidak menggunakan alat-alat yang bersifat mengukur, tetapi hanya menggunakan alat yang bersifat menghimpun atau mendiskripsikan saja.

Teknik non-tes yang digunakan peneliti adalah menggunakan metode observasi, wawancara, dan kuesioner. Sebagai berikut:
1.                  Observasi
Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap suatu obyek dalam suatu periode tertentu dan mengadakan pencatatan secara sistematis tentang hal-hal tertentu yang diamati. Pengamatan langsung yang dimaksudkan disini dapat berupa kegiatan melihat, mendengar atau kegiatan dengan alat indra lainnya (Nurkancana, 1993:35).
2.      Wawancara
Wawancara merupakan teknik untuk mengumpulkan informasi melalui komunikasi langsung dengan responden (orang yang diminta informasi), dalam hal ini bisa siswa, orang tua siswa, atau orang lain yang diminta keterangan tentang siswa (Sunaryo Kartadinata, 1998:39).
3.                   Kuesioner
Kuesioner adalah suatu metode pengumpulan data dengan jalan mengajukan suatu daftar pertanyaan tertulis kepada sejumlah individu, dan individu-individu yang diberikan daftar pertanyaan tersebut diminta untuk memberikan jawaban secara tertulis pula (Nurkancana, 1993:45). Pertanyaan kuesioner ini menggunakan skala likert, yang terdapat lima alternatif  jawaban.
Tetapi teknik yang digunakan untuk mendapatkan data dalam penelitian adalah kuesioner yang dikembangkan berdasarkan teori-teori relevan.
Penelitian yang dilakukan tentu akan berkaitan dengan suatu objek yang akan di teliti  baik itu berupa kejadian ,gejala manusia maupun benda-benda. Karena berbagia alasan baik itu menyangkut dana, waktu, dan tenaga maka tidak semua hal yang ingin dikaji atau dikendalikan dapat diteliti., maka akan semakin susah bai peneliti untuk menarik eneralisasi. Mengingat hal ini suatua penelitian tidak mesti meneliti semua populasi apalagi jumlah populasinya tak hingga, maka peneliti hanya dikenakan pada sebagian populasi bukan semua populasi.  Cara mengambil sebagian populasi atau sampel ini sering disebut dengan metode sampling. Relevan dengan ini IB Netra mengemukakan  Metode sampling adalah suatu cara pengambilan subjek penelitian dimana subjek yang akan diselidiki itu terdiri dari sejumlah individu yang mewakili jumlah yang lebih besar ( I.B. Netra, th 1974,hal 25).
Penelitian ini menggunakan random sampling atau probability sampling. Mengingat probability sampling mempunyai kelebihan dalam memberikan peluang yang sama pada populasi  yaitu suatu populasi diberikan peluang yang sama untuk menjadi anggota sampel. Dalam probability sampling seorang peneliti mempunyai cara yang obyektif untuk menaksir dan menghitung besarnya kesalahan sampling. Pengambilan sampel ini bebeas dari subjektifitas peneliti atau subyektifitas orang lain.
Menurut Sutrisno Hadi cara-cara atau prosedur yang digunakan untuk random sampling adalah 1) cara undian, 2) cara ordinal, 3) randomisasi dari tabel bilangan random ( Sutrisno hadi, th, 1984, hal 17).
Penelitian ini menggunakan random sampling dengan pengambilan sampel berdasarkan cara undian . hal ini dengan mempertimbangkan bahwa pada random sampling dengan cara undian dipakai dengan mengingat bahwa populasi yang ada tidak terlalu banyak dam lebih mudah dalam pelaksanaannya.
Dengan mengacu pada pendapat diatas dan mengingat bahwa sumber variasi populasi adalah tingkat kelas dan jenis kelamin, maka sebagai konsekuensinya penelitian menggunakan stratified sampling dan proporsional sampling, jadi merupakan samplling rangkap. Untuk lebih ringkasnya maka disebut saja proporsional stratified random sampling . hal ini relevan dengan apa yang dikemukakan oleh Sutrisno Hadi bahwa :
Jika setratified sampling memperhatikan perimbangan atau proporsi individu dalam tiap-tiap stratum disebut proporsional stratified sampling. Selanjutnya proposional stratified sampling yang menggunakan randomisasi dinamakan proporsional stratified random sampling. (Sutrisno Hadi, th. 1989, hal 82).
Dalam penelitian ini setrata yang di maksud adalah adanya tingkatan  kelas yaitu kelas 10. TKJ, TGB,TBG,TITL,TAV,TMO.

3.1  Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini adapun intrumen yang akan digunakan adalah kuisioner untuk mengumpulkan data tentang faktor keluarga dan faktor sekolah, sedangkan skala konsep diri digunakan untuk memperoleh data tentang konsep diri.
Dalam kuisioner ini dibedakan atas (1) item poseitif dan satu item negatif dengan menggunakan ukuran ordinal yaitu dengan menggunakan ukuran sering, jarang, dan tidak pernah. Setiap pertanyaan diberi skor yang bergerak dari 1 sampel, 3 pada item yang positif pembobotannya adalah selalu = 3, jarang = 2, dan tidak pernah = 1. sedangkan pada item negatif pembobotannya adalah : selalu = 1, jarang = 2 dan tidak pernah = 3.
Untuk menghindari adanya kecenderungan pilihan pada item yang positif dan item negatif diletakkan secara acak. Instrumen pengukuran ini diberikan dan dijawab oleh siswa jadi data yang diperoleh memang benar dari persepsi siswa itu sendiri. Untuk menyusun instrumen berdasarkan pada indikator yang ada pada kisi-kisi rancangan instrumen.
3.2  Metode Analisis Data
Data mentah yang dikumpulkan oleh peneliti tidak akan ada gunanya jika tidak dianalisis, dan ini berarti analisa data merupakan suatu langkah yang penting dan kritis dalam penelitian. Karena dengan analisislah data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Untuk mengalisis data maka perlu dilakukan beberapa tahapan diantaranya :

3.3   Menguji Normalitas Data
Untuk menguji dan mengalisa data statistik maka salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah data tersebut harus mengikuti distribusi normal. Untuk itu diperlukan pengujian terhadap data yang akan dianalisis, apakah data tersebut mengikuti distribusi normal atau tidak. Untuk menguji normalitas data dipergunakan rumus Chi kuadrat :
X² =
(sumber : Nyoman Dantes, th. 1981, hal. 12).
Keterangan :
                        X² = Chi kuadrat
 Fo = frekuensi yang diperoleh
 Fe = frekuensi yang di harapkan
3.4  Analisis Regresi
Analisis regresi digunakan untuk mendapatkan koefisien determinasi, seta sumbangan efektif masing-masing prediktor terhadap kriterius. Dalam analisis regresi, dilakukan pengujian terhadap signifikansi harga masing-masing koefisien dengan menggunakan uji f. Adapun rumus koefisien korelasi regresi adalah sebagai berikut :
Ry (1.2) =
Keterangan :
                        Ry (1.2)           = koefisien korelasi antara Y dengan X1
                                                                      dan X2
                        a1                            = koefisien prediktor X1
                        a2                            = koefisien prediktor X2
                        ∑x1y                = jumlah produk antar X1 dengan Y
                        ∑x2y                = jumlah produk antar X2 dengan Y
                        ∑y²                  = jumlah kuadrat kreterium Y
           (Sutrisno Hadi, th. 1983, hal. 25)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar